31. Tidak Sekufu (2)

1.8K 256 50
                                    

'Masihkah diam menjadi emas ketika bertanya dan berbicara mengenai sesuatu namun tak berujung tanggapan, malah mendapat hinaan bertubi?'
____________

Suara klakson mobil menghentikan lamunanku. Tak ada lagi Hanna yang menemaniku atau Bu Gendhis dengan kalimat pedasnya tadi, karena keduanya telah pulang. Hanya aku seorang di depan gerbang. Mengusap bulir yang hendak meluncur ketika menyadari sebuah kuda besi hitam menuju ke arahku. Memasang senyum simpul sembari berjalan pelan mendekati mobil milik Kang Fikri yang berhenti tepat di depanku.

"Mata kamu kenapa? Tadi kulihat kamu mengusapnya," ujarnya ketika posisiku telah duduk di jog mobil sampingnya. 

Aku menggeleng pelan, menutup pintu mobil yang masih terbuka. "Mungkin kena debu, Mas." Berusaha menutup kesedihan yang sedang menderaku dari Kang Fikri.

Hanya hening yang mengisi perjalanan kami. Netraku terus menatap jalanan tanpa teralih. Bahkan usaha Kang Fikri dengan menggenggam tanganku tak begitu berpengaruh. "Ada apa? Cerita denganku. Aku khawatir, Sayang."

Aku membalas mengusap punggung tangannya dengan tanganku yang lain. "Tidak apa-apa, Mas. Maaf jika membuat Mas khawatir." Bahkan aku baru tersadar jika sejak malam Walimatul ursy kemarin dia telah merubah panggilannya padaku dengan lebih istimewa.

Kembali menatap jalanan dan membuat mataku seketika menyadari mobil yang kami naiki menuju jalan berbeda. Bukan mengarah ke pondok, melainkan menuju jajaran warung makan. "Mas, kita tidak pulang ke ndalem?"

"Mampir ke warung makan dulu, siang tadi Mas belum makan." Mataku melebar, berdecak kesal.

"Kenapa belum makan? Apa di ndalem ndak ada masakan? Apa Mas ndak kasihan sama perut Mas?" Memberi runtutan pertanyaan karena khawatir yang malah dibalas olehnya dengan kekehan.

Posisiku sekarang istrinya, wajar jika aku bersikap seperti itu. Istri mana yang tidak khawatir jika suami belum mengisi perutnya sejak siang, itu berarti mundur dari jadwal makan hingga sore. Bahkan sebelum berangkat mengajar, aku sudah menyiapkan bahan untuk santri ndalem yang biasa piket masak kalau keluarga ndalem tidak sempat memasak.

Aku mendengus panjang, memberikan gelengan pelan. "Sudah sampai, sekarang kita turun. Mas ingin makan garang asem," ujarnya. Membuka pintu mobil, berjalan menuju salah satu warung makan. Terlihat dia memberikan isyarat padaku duduk di tempat lesehan sebuah warung dengan buku menu sudah di tangannya.

Ketika seorang pelayan datang menanyakan pesanan, seketika kuberikan tatapan tajam padanya yang hendak memesan menu pilihannya. Beralih meminta menu lain yang lebih aman di perut kosongnya.
"Jangan garang asem, makan yang lain mawon. Perut kosong ndak baik diisi sama yang asem-asem, cari menu lainnya saja, Mas."

Saat hendak memotong ucapanku, saat itu juga kuminta pelayan tadi segera menuju meja lain. Membiarkan Kang Fikri menatapku tak percaya. "Mas ingin garang asem, sayang. Kenapa diganti dengan sayur bening, sih?"

"Makan sayur bening biar perutnya adem dulu. Aku yakin, sebelum jemput pasti minum secangkir kopi, kan."

"Ok, Mas kalah. Nurut mawon sama garwo nya Mas Fikri," balasnya. Memasang cengiran khas Kang Fikri.

Tak menunggu waktu lama, semua pesanan kami telah terhidang di meja kecil yang ada di hadapan. Menandaskan makanan yang tersaji dengan hening.

****
Aku tersenyum tipis, melangkah pelan menuju kamar pondok tempatku dulu. Berniat mengambil beberapa barang penting yang kubutuhkan dan beberapa helai baju.

Suara panggilan dari beberapa santri ketika berjalan menuju kamar membuatku membalas lirih. Mengabaikan suara tak mengenakkan dari mulut beberapa santri yang dengan jelas tidak menyukaiku.

Sepasang Hati (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang