8. Kesungguhan

2.9K 250 15
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد

JADIKAN AL-QURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA

***

'Aku tetap pada batasan, tidak melampaui atau merobohkan batas itu'

~AlFany Ramadhani~
________

Cukup lama Mbak Nana bercerita tentang Gus Lana mengenai banyak hal hingga tak terasa hari telah sore. Membuatku segera pamit, meninggalkan ndalem dengan sejuta tanya dalam benak.


Kembali pikiran ini didesak mengulang setiap kejadian beberapa tahun lalu setelah melihat foto milik Gus Lana tadi. Pertemuanku dengan Kang Fikri selalu menari di sana. Kilasan pertemuan itu kian kuat berkelebat dalam benak. Aku gundah, perasaan aneh kian timbul. Antara rindu, penasaran, kesal serta kecewa.

Sebenarnya aku lelah rindu pada bayangan semu. Aku takut jika harus kembali menelan kenyataan pahit cinta sepihak. Nyatanya semua yang pernah terjadi dulu hanya sebatas warna lain yang hadir sesaat dalam kisahku. Entah mampu kutemui lagi atau memang hanya sampai situ pertemuan kami dan sebatas itu saja kisah kami.

Sudah cukup perasaan entah berantah ini lama bermukim. Sudah cukup rasa penasaran pada pria itu. Aku kesal pada diriku sendiri. Aku takut perasaan ini kian subur meski dia hanya berupa bayangan yang kerap muncul dan mungkin akan membuatku terkungkung. Haruskah hati ini terus terusik olehnya? Haruskah aku terus terpasung kisah masa lalu?

Aku takut terjerembab dosa, mencintai suami orang. Aku hanya ingin bebas, melepas semua dengan hati lapang dan ikhlas. Menghilangkan rasa suka pada pria yang beberapa tahun lalu jelas telah menentukan pilihannya. Aku tak mau kalah dengan ego yang memintaku  untuk mengingat masa lalu.  Siapapun dia bagiku, nyatanya sekarang tak ada artinya.

Kurasa di sinilah batasku, aku tetap pada batasan, tidak melampaui atau merobohkan batas itu. Batas yang sebenarnya telah menjadi penghalang rasa tertarikku padanya sejak dulu. Mungkin sangat sulit menghapus seluruhnya, tetapi akan aku usahakan perlahan rasa itu tersapu oleh waktu. Semakin luntur lalu terhempas oleh batas, hingga akhirnya mundur kian pasti. Bahkan menghilang.

Ya Allah, ridhoilah setiap langkahku. Ikhlaskan hatiku menghapus kenangan kelabu itu. Takdirkan diriku dengan dia yang memang telah tertulis di Lauh Mahfudz, meski pada akhirnya bukan pria yang saat ini namanya masih saja mengusik ketenangan batinku.

***

Senja kian merangkak, menguntai lukisan indah di cakrawala. Suara jangkrik pun mulai terdengar. Gelap telah menyapa, sang rembulan kian gagah menduduki singgasana bersanding dengan bintang membagi sinar, menghapus sedikit gulita malam.

Aktivitas pondok mulai berkurang, malam memang bukan waktu yang banyak dengan kesibukan pondok. Kami hanya mengikuti jama'ah shalat maghrib dan isya selepas itu disambung kajian kitab lalu istirahat.

"Mbak Alfa ndak istirahat? sudah jam sebelas ini. Apa masih betah matanya diajak muroja'ah?" Aku mengulas senyum tipis, menepuk sisi kosong lantai keramik beralas sajadah di sampingku. Memintanya duduk mendekat.

"Aku hanya sekedar menyapanya saja, aku takut dia pergi dari jiwa yang baru saja dihuninya ini, Syifa. Aku takut dia tidak mau bertahan ketika kuabaikan."

Aku akui belum lama ini telah menyelesaikan hafalan Qur'an. Butuh proses serta perjuangan panjang dan kemantapan, keikhlasan hati untuk mampu menyisipkan kalam mulia itu dalam hati serta pikiran. Muroja'ah sekarang adalah kebiasaan yang harus istiqomah kujalankan. Aku selalu berdoa pada Allah, semoga tidak ada rasa bosan dalam raga dan jiwa ini menyenandungkan kalam mulia-Nya.

Mendengar balasanku gadis itu terpaku, seolah berpikir keras mengenai ucapanku barusan. Sudah biasa dia seperti itu, maklum saja dia seorang mualaf. Ikrar syahadat dia ucapkan tiga bulan sebelum mondok di pesantren ini satu tahun lalu. 

Nur Syifa, nama yang diberikan Abah Kiai setelah keislamannya. Dia adikku, seorang yang memang telah kuanggap seperti adik kandungku sendiri. Gadis cantik bermata sipit yang telah setahun ini menjadi santri di pondok tempatku menimba ilmu agama.

"Aku tahu sekarang, kenapa banyak orang islam sampai menitihkan air mata ketika mendengar kalam mulia itu dilantunkan. Karena kecintaan mereka pada Alquran sangat besar, aku bisa melihat langsung dari para penghafal Alquran seperti Mbak Alfa."

Aku menarik dua sudut bibir. "Kamu tahu, aku juga berdoa, semoga kamu tambah cinta Alquran dan ndak males kalau disuruh nderes dulu sebelum setoran."

Syifa memasang wajah masam. "Mbak Alfa biasa, pertama bikin hati adem habis itu langsung disiram air garam," sahutnya.

Aku kembali tersenyum mendengar balasannya. Mulai beranjak dari duduk, meletakkan mushaf bergambar menara Kudus bagian sampul belakangnya di jajaran mushaf lain dalam rak. Setelahnya berjalan beriringan dengan Syifa menuju kamar.

***

"Ning, kali ini saja. Saya sungguh-sungguh berniat baik ingin meminang Fany." Fia hanya tersenyum miris, menghela napas panjang lalu menggeleng. Benar-benar tidak bisa berbuat banyak,  meski kesungguhan dapat dia lihat dari sorot mata Kang Fikri. Pada akhirnya meminta pria yang berdiri di samping suaminya itu masuk ke ruang tamu. Kurang sopan juga membiarkan tamu di luar tanpa dipersilahkan masuk.

"Apa tidak ada petunjuk lain yang sampean dapat?" Gus Amir menggiring sahabatnya itu masuk ke ndalem. Duduk di sofa berwarna silver.

Pria itu menggeleng, mencari sesuatu dalam saku lantas menyerahkan selembar kertas berisi alamat sebuah rumah yang ada di perumahan yang tempatnya tidak terlalu jauh dari pondok ini. "Hanya itu satu-satunya petunjuk terakhir yang saya peroleh, Gus."

Mendengar percakapan suaminya dan Kang Fikri, Fia kembali menghela nafas panjang, semakin gusar dengan keadaan. Berdiri mematung di balik tembok pembatas dengan nampan berisi dua cangkir teh panas serta setoples makanan ringan. 

Andaikan dia tak terikat janji, mungkin dengan senang hati akan membantu, terlebih menyangkut masa depan sahabatnya. Apalagi ini adalah kesempatan dua insan itu bersatu.

Ternyata hati Fia mulai meragu, antara menjaga janji atau malah memberitahu Kang Fikri. Merasa tidak tega juga dengan Kang Fikri yang merasa putus asa karena usahanya mencari Fany tak kunjung membuahkan hasil. Hanya alamat rumah Fany yang dia dapatkan dan itupun Fia tahu kalau sudah tidak dihuni oleh Fany. Rumah itu sudah lama kosong karena Fany memang sudah pindah dari sana sejak perusahaan ayahnya bangkrut.

***

Menuju konflik yang mulai njilmet.

Maaf baru bisa update. Saya sedang UAS, mohon doanya njih semoga dapat nilai yang bagus dan memuaskan🙏

Rabu
Semarang, 8 Januari 2020

Revisi 30/3/21

Sepasang Hati (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang