33. Melepas penat bersedih

1.6K 239 24
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
****

'Kamu baik, cuma kondisi saja yang membuatku menjauh sesaat. Melepas penat bersedih.'
_________

Mendung pertanda hujan itu bukan kepastian. Bahkan rintik gerimis bisa saja sampai di bumi saat mentari tengah terik bersinar. Sama halnya, sebuah kesalahan bukan berarti menghapus bagian sisi kebaikan. Melupakan hal baik jika melihat dari satu sisi saja, menuntun menepis sisi lain yang merupakan kebaikan dan inti dari semua.

Masalah yang merundung bukan memaksa membuat mengambil keputusan tanpa berpikir panjang dengan serta ego pula. Harusnya melihat bagaimana akibat yang menimpa jika mengambilnya, memastikan keputusan tiba-tiba tanpa banyak berpikir apa bisa menjadi jalan keluar? Tentu tidak semuanya bisa seperti itu.

Sebuah mobil sewaan Ayah Abbas beserta supir di dalamnya sudah tiba di halaman rumah sederhana. Memasukkan barang-barang yang dibutuhkan dalam perjalanan. Menitip kunci pada kakaknya jikalau Fany datang. Entah, firasat seorang ayah merasa putrinya akan datang besok.

Bocah kecil dalam gendongan sang istri ternyata sudah terlelap. Mengulas senyum tatkala dua sosok itu masuk ke dalam mobil di jog belakangnya sementara dirinya duduk di jog depan menemani supir. Mungkin akan melelahkan, perjalanan dimulai pukul sepuluh malam dengan jarak tempuh kisaran empat sampai lima jam untuk sampai di tujuan.

"Bun, apapun yang akan terjadi Ayah tidak akan meninggalkan kalian." Bunda hanya membalas dengan anggukan pelan, mengusap rambut hitam milik putranya yang ada dalam dekapan.

****
Sinar mentari kian merangkak, menyelusup dari jendela kamar yang terbuka lebar. Udara pagi ini terasa lebih dingin, sapuannya yang menerpa kulit membuat bulu kuduk merinding sebab suhu rendah.

Beberapa helai pakaian sudah tertata rapi di dalam tas jinjing dengan jilbanya juga. Bungkusan makanan yang akan dijadikan buah tangan juga sudah siap dibawa.

"Sayang, semua sudah siap?" Aku mengangguk, menatap sekilas wajah dengan rahang kokoh itu dengan sepasang alis bertaut, seolah memikirkan sesuatu namun berakhir ketika tubuh kami berdekatan. Malah dia memberikan senyuman manis serta kecupan singkat padaku. Dengan sigap merebut tas jinjing dalam genggamanku, berjalan pelan menuju tempat dimana mobil miliknya terparkir.

Tak ada perbincangan dalam perjalanan, kami bungkam hingga sampai tujuan. Bahkan ketika pintu mobil terbuka pikiranku yang sejak awal berkelana baru tersadar saat kurasakan ada usapan lembut di punggungku  darinya.

"Sepertinya Ayah dan Bunda sedang pergi, mungkin lama. Apa sebaiknya kita pulang saja," ucapnya usai melihat pintu rumah tertutup.

"Mungkin mereka sedang keluar sebentar. Biasanya kunci dititipkan pada Bude," balasku. Segera bangkit lalu berjalan menuju teras dengan Kang Fikri berjalan di belakangku. Memutar gagang pintu disertai ulukan salam namun tidak kunjung terbalas. Memintanya tetap ditempat sementara aku menuju rumah Bude yang selisih dua rumah dari posisi kami.

Ternyata benar dugaannya, Ayah dan Bunda serta Ahmad sedang keluar lama. Sebelum pergi Ayah menitipkan kunci rumah serta mengatakan akan pergi cukup lama, beberapa hari.

Ada yang aneh, tidak biasanya Ayah dan Bunda pergi tanpa pamit padaku namun kali ini tanpa kabar tadi malam mereka telah menyewa sebuah mobil menuju suatu tempat.

Pelan aku kembali berjalan menuju rumah sembari menebak kemana orang tuaku kali ini. Mendekati Kang Fikri yang masih pada posisi berdiri dengan menenteng tas milikku di depan pintu.

"Sudah mendapat kuncinya?" Aku mengangguk, membuka pintu lantas memintanya masuk mengikutiku menuju kamar dengan ukuran minimalis. Jauh berbeda dengan kamar miliknya yang berukuran lebih luas. Dua kali lipat dari ukuran kamarku. Dari sini saja sudah diketahui jika aku memang bukan siapa-siapa, jauh rasanya sejajar dengannya.

Ya Allah, ampuni aku jika menjadi hamba lemah akhir-akhir ini.

"Maaf jika sebagai suami aku kurang baik, kurang membuatmu nyaman." Gerakan tanganku mengeluarkan baju dari tas terhenti. Menatap lekat Kang Fikri yang tiba-tiba mengatakan itu dengan tatapan matanya lekat mengarahku.

Entah, aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. Hanya saja pagi ini dia bersikap bukan seperti biasanya. Lebih banyak terdiam dan yang lebih anehnya lagi, kulihat beberapa kali keluar masuk dari kantor pondok Putri. Jika pun kutanya alasannya, dia hanya membalas dengan senyum tipis. Mengatakan tidak apa-apa, hanya memantau.

"Kamu orang baik, Mas." Kalimatku hanya sampai disitu, semua lanjutan kalimat yang hendak kuucap tercekat di tenggorokan, tak mampu keluar.

Kuraih satu tangannya, mengecup sekilas punggung tangan kokoh miliknya lalu memeluk sosoknya dengan erat.

Kamu baik, cuma kondisi saja yang membuatku menjauh sesaat. Melepas penat bersedih.

Kupastikan kembali usai kesedihan yang melandaku telah sirna. Tunggu aku hingga kuat melapangkan dada, menerima semua dengan hati yang benar-benar lega.

****
Mobil dengan plat H sudah memasuki sebuah kawasan dengan hilir mudik para muda-mudi dengan balutan pakaian yang menutup aurat. Tampak beberapa sibuk menyapu halaman dan sebagian ada yang mendekap sebuah kitab dan berjalan menuju masjid yang ada tak jauh dari sana.

Tangan Ayah Abbah mulai gemetar ketika mobil berhenti tepat di halaman cukup luas sebuah rumah sederhana yang menjadi fokus perhatiannya. Meminta sang istri dan anaknya turun terlebih dahulu sebelum membuka pintu mobil. Meminta bantuan sang supir mengeluarkan semua barang-barang bawaan.

Mata Ayah Abbas mulai berkabut kala langkah kaki tergesanya semakin mendekat menuju  rumah sederhana itu. Hilir mudik beberapa pasang mata sampai menatapnya penuh tanya namun dihiraukan begitu saja. Bahkan Bunda yang menggandeng Ahmad hanya mampu manahan isak tatkala sang suami dengan langkah tak sabar semakin mendekati tempat tinggalnya dulu. Tempat dimana menjadi saksi limpahan kasih sayang dari sepasang suami istri yang lama tidak disambangi.

Sosok wanita paruh baya dengan balutan gamis serta hijab senada yang berdiri di teras menatap tanpa kedip dari kejauhan pada sosok yang berjalan mendekatinya. Membenarkan kacamata yang bertengger sebelum memekik keras saat tubuh sosok itu sampai di hadapannya. Bersimpuh di kakinya dengan tangisan.

"Umi, maafkan Husein."

"Ya Allah, anakku! Allahuakbar, Alhamdulillah Gusti, sampun mbeto wangsul larene kula." Tangisan haru menderu, seketika tampak luruhan embun begitu deras dari netra kelam milik wanita paruh baya itu. Menatap seolah tak percaya sosok pria yang bersimpuh di kakinya adalah putranya. Sosok putra yang puluhan tahun tak kunjung mereka temukan keberadaannya.

"Nyuwun ngapurane Umi. Husein sudah lama tidak memberi kabar. Meninggalkan Umi dan Abah begitu saja."

Bibirnya tak tahan untuk tersenyum simpul kala matanya   menangkap sosok wanita yang berdiri di depannya. Tangan wanita itu menggandeng anak kecil dengan wajah hampir serupa dengan sang anak ketika usia belia.

"Le, Umi sudah memaafkanmu," balasnya. Mengusap punggung sang putra yang masih bergetar karena tangisan.

***

Semarang
7 Agustus 2020

R

evisi 19/4/21

Sepasang Hati (End)Where stories live. Discover now