14. Patah

2.5K 225 29
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
اللهم بارك لنا في رجب وشعبان و بلغنا رمضان
سبحان الله الاحد الصمد

JADIKAN AL-QURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA

****

'Jangan berharap lebih pada manusia, karena kau tak akan pernah mendapat kepastian bahagia.'

___________

Menikmati apapun yang telah berjalan itu bagiku suatu keharusan. Menyertakan syukur tentunya juga jangan sampai lupa.

Menjadi tenaga pengajar memang keinginanku sejak awal. Menempuh pendidikan sebagai guru pendidikan agama Islam sudah kujalani, sekarang tinggal menebar ilmu yang kudapatkan.

"Bu Fany, Aditya jatuh dari tangga."

Teriakan dari salah seorang anak didikku membuatku terkesiap, meletakkan bolpoin dan lembaran kertas dengan asal di atas meja.

"Sekarang antar ibu kesana." Aku berlari mengikuti bocah MI di depanku hingga dari jarak cukup jauh, terlihat kerumunan dengan seorang guru memangku siswa berseragam merah putih yang menangis.

"Bu Jannah, bagaimana bisa begini?" tanyaku. Kuambil alih siswaku itu dari pangkuan Bu Jannah usai Bu Jannah memintaku segera memberikan pertolongan pertama. Mengusap darah yang mulai mengalir dari pelipisnya.

"Saya tidak tahu, tadi kata siswa lain Aditya terpeleset. Saya langsung berlari ketika melihat Aditya menangis kencang," ucap Bu Jannah. Kekhawatiran terlihat jelas dari raut wajahnya.

Tanpa membuang waktu, aku langsung menggendong Aditya lantas berlari keluar gedung sekolah. Menyetop taksi yang lewat di depan gerbang sekolah untuk menuju Puskesmas terdekat.

Pikiranku mulai kalut kala mendengar suara tangis Aditya melirih. Aku takut dia pingsan karena lukanya itu. Tepat saat taksi sampai di depan Puskesmas, langsung kuserahkan lembaran uang lantas berlari menuju sebuah ruangan yang di sana terdapat seorang dokter dengan sebagian wajah tertutup masker.

"Dokter, tolong murid saya. Dia jatuh dari tangga terus pelipisnya keluar darah sampai sekarang belum berhenti."

Pria bersnelli putih itu mengangguk. "Tenang, dia hanya luka ringan."

Kekhawatiranku ternyata tak terlalu dianggap oleh dokter itu. "Dokter tidak lihat dia sampai berhenti menangis begitu. Kalau terjadi apa-apa, dokter yang harus bertanggung jawab."

Bibirku terus mengucap istighfar ketika melihat dokter itu mulai mengobati Aditya, berusaha tetap tenang meski sebenarnya aku sangat khawatir.

"Sudah, pelipisnya hanya sedikit terluka, tidak parah. Hanya memar disekitar matanya yang membuat nyeri. Saya sudah menulis resep untuk nyerinya itu dan obat luar untuk luka di pelipisnya."

Aku sedikit bernafas lega. Tapi ada yang aneh, Aditya sejak tadi tidak bersuara. Apa muridku itu pingsan?

"Apa yang Dokter lakukan? Kenapa muridku itu berhenti menangis?"

Suara tawa tiba-tiba muncul, pria bersnelli itu membuka maskernya. Tersenyum mengejek padaku.

"Wajahmu sangat lucu ketika khawatir. Aku hampir tidak fokus karena menahan tawa melihatmu begitu, Fany."

Sepasang Hati (End)Where stories live. Discover now