Epilog

1.5K 135 20
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA

***

Sapuan warna jingga di cakrawala mengakhiri lantunan ayat dari bibirku. Aku menutup mushaf lantas mengecupnya cukup lama. Rasanya baru beberapa bulan aku membuka mata dan melihat Malik memeluk erat tubuhku, ternyata waktu berputar begitu cepat. Sosok pria kecilku yang dulu begitu antusias mengajakku berjalan di area pondok, kini sudah tumbuh menjadi pria dewasa dengan wajah rupawan tak jauh beda dengan Abahnya.

"Umi, Mas Malik ninggalin Ika. Mas berangkat duluan ke rumah Bunda Fia," ucap sosok gadis kecil dengan wajah sendu. Matanya basah dengan kedua sudut bibir turun.

Kalian tidak akan menyangka, diusia yang menurutku cukup tua aku kembali hamil anak kedua. Sosok bayi mungil berjenis kelamin perempuan terlahir ke dunia. Kali ini aku cukup senang dengan perpaduan genku dan Kang Fikri yang dimenangkan olehku. Pria yang kusebut suami itu tersenyum ketika melihat putrinya saat itu. Dia melirikku sekilas sebelum kembali menatap wajah putrinya dengan khusyuk. 

"Tadi Ika sudah dibangunkan sama Mas Malik, tapi masih tetep bobok. Kan Mas Malik juga harus ngajar santri disana, bukan cuma main," jelasku pada Ika. Tubuhnya mendekatiku lalu menenggelamkan wajahnya di pangkuanku. Memeluk tubuhku erat.

"Ika kangen Bunda Fia, Mas Zaki, Mbak Kia sama Mbak Ara. Ika mau ke sana Umi," ucapnya dengan kedua mata bulatnya  menatapku lekat.

"Iya, nanti malam diantar Abah ke sana. Lha Ika mboten kangen Ayah Amir?" Ika mengangguk pelan. "Kangen banget. Tapi, Ayah jarang ada di ndalem waktu Ika lagi main ke sana. Ayah Amir ke luar kota." Aku mengusap punggung kecil Ika. Menggiringnya masuk ke ndalem sebab tak lama lagi azan magrib berkumandang.

Saat itu proses persalinan Malika Abdul Fikri diwarnai suasana bahagia juga sedih. Aku senang karena Allah memberiku kesempatan memiliki dzuriyyah lagi. Tapi, disisi lain hal yang dulu menimpa bunda ternyata juga kurasakan. Aku belum bisa memberikan ASI pada putriku hingga tiga hari. Hal ini membuatku bingung juga sedih. ASI ku benar-benar tidak bisa keluar. Susu formula yang diberikan pun Ika muntahkan. Hingga dengan kemurahan hatinya Fia yang menjenguk ku berkata mau menjadi Ibu susuan untuk Ika. Saat itu dia juga sedang masa memberikan ASI eksklusif pada Ara yang berusia delapan belas bulan.

Usai melaksanakan salat maghrib berjamaah di masjid pondok, aku meminta Ika segera bersiap sebelum menginap di rumah Fia. Gadis kecilku itu tampaknya benar-benar tidak bisa meredam rindu pada keluarga keduanya. Satu bulan kemarin dia menginap di ndalem Pekalongan sebelum beberapa bulan lagi berangkat ke pondok di Kudus. Meminta doa Ayah dan Bundaku setelah sebelum ke sana lebih dulu  berpamitan pada Abah dan akhirnya mendapatkan uang saku tambahan untuk di pondok.

"Mas, jangan digodain anaknya." Mataku menatap tajam ke arah Kang Fikri yang tidak berhenti menggoda putrinya. Bahkan sesekali mengatakan akan menutup pintu kalau Ika menginap lama di rumah Fia.

"Mboten, Abah cuma bercanda, Dek Ika," ucap Kang Fikri dengan kedua tangan telentang hingga putrinya berjalan mendekat untuk membalas.

Sebuah kecupan bertubi Ika berikan padaku. Berpamitan juga pada Abah yang tengah duduk di  sofa ruang tamu bersama beberapa santri pengurus. Ika melambaikan tangan dari dalam mobil ke arahku yang berdiri di teras usai mengantarnya.

***
Tubuhku tersentak ketika merasakan rengkuhan dari arah belakang. Hidung bangir seorang pria yang sangat kuhafal ini terasa mengendus rambutku.

"Kamu kok belum tidur? Tadi sampai ndalem Gus Amir, Ika langsung tidur bareng Ara," ucapnya terdengar begitu samar sebab kepalanya sudah disembunyikan dibalik rambutku.

Sepasang Hati (End)Where stories live. Discover now