13. Mengalah

2.5K 223 21
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN AL-QURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA

****

'Tidak ada yang kalah, putaran takdir membawa setiap orang pada kemenangannya masing-masing.'

_______________

Takdir, sesuatu yang hanya bisa diatur oleh Allah. Lagi-lagi kita seorang hamba tidak bisa menghindari atau lari darinya. Tidak ada yang kalah, putaran takdir membawa mereka pada kemenangannya masing-masing. Entah kemenangan dalam artian sebenarnya atau sebaliknya.

Kang Fikri menangkap sorot kecewa dari tatapan sekilas Ning Fia. Bukan bermaksud menyakiti hati sahabat Fany itu, tapi ada hati lain yang sekarang harus dijaga perasaannya.

"Kenapa sampean harus mundur?" suara yang terkesan tidak terima ditimpakan padanya karena keputusannya.

Kang Fikri memang sudah menceritakan semuanya pada Gus Amir dan Fia. Mulai dari awal pertemuannya dengan David hingga pertemuannya kembali dengan Fany dalam situasi rumit lalu. Tidak ada yang terlewat sama sekali, dia jelaskan dengan runtut tanpa ada yang tertinggal termasuk pilihannya mundur.

"Saya memang harus mundur, Ning," sahut Kang Fikri. Menyimpan cangkir kopi yang baru diminum di atas meja kayu kecil.

"Dek, jangan bicara begitu pada Fikri." Gus Amir yang semula  sibuk membaca kitab gundulnya pun memilih berhenti. Menegur istrinya. Gus Amir tahu, tidak ada yang bisa disalahkan. Dia tahu Istrinya dengan perasaan tidak terima karena sahabatnya kembali harus kalah oleh keputusan Kang Fikri, sedang Kang Fikri sendiri lebih memilih mengalah karena keadaan.

"Tapi kenapa harus hati Fany lagi yang dikorbankan, Kang?" Penuh penekanan kalimat itu Fia ucapkan. Rasa tidak tega menghampiri perasaan Fia akan nasib sahabatnya itu.

Setelah meluapkan isi hatinya, Fia terdiam. Dia malah merasa bersalah karena selama ini menyimpan informasi tentang Fany dari Kang Fikri. Kata seandainya berkeliaran dalam benaknya. Menyesal pun tidak berguna, semua sudah terjadi.

"Kenapa harus sampean yang mengalah? bukankah dia yang datang baru saja yang sepantasnya mundur?" Kali ini suara Fia kembali melembut seperti biasanya. Tidak ada penekanan setiap kata ketika berucap.

Kang Fikri memijat pelipisnya. Bersandar di sandara sofa empuk tempatnya duduk. "Tidak ada yang kalah jika pun saya yang mengalah, Ning."

"Tapi sampean sudah curang."

Ucapan Fia barusan ternyata memancing Gus Amir untuk ikut menyimak lebih serius percakapan antara istri dan sahabatnya.

"Curang apa yang Ning Fia maksud?"

Fia memusatkan mata ke arah suaminya ketika akan membalas ucapan Kang Fikri. Dia dibuat bungkam karena diminta Gus Amir diam dengan isyarat.

"Jangan dipikirkan, Fik. Maklumi saja kalau Fia begitu. Dia hanya ingin menjaga hati sahabatnya," balas Gus Amir akhirnya. Memilih menjadi penengah.

Kang Fikri mengangguk namun juga membalas ucapan Fia. "Jika yang dimaksud Ning Fia saya curang karena mengalah, itu benar. Kekalahan saya disebabkan oleh perbuatan saya sendiri. "

Gus Amir merasa kian tidak enak atas ucapan Fia sebelumnya. "Fik, sudah. Semua keputusan yang kamu ambil sudah benar."

Tiba-tiba suasana hening hadir beberapa saat. Tiga orang itu seakan dibuat berpikir keras sebelum melanjutkan pembahasan hingga Kang Fikri  spontan kembali berucap. Mengungkapkan sebuah kebenaran.

"Ada satu hal yang membuat saya yakin dengan keputusan saya ini, Gus." Kang Fikri menggantung kalimatnya sesaat sebelum kembali melanjutkan.

"Saya tidak ingin mengambil suatu perantara seorang hamba mengenal Allah dengan paksa. Yang saya takutkan adalah ketika saya meminta Fany kembali, maka David pun bisa saja kembali seperti dulu."

"Dalam hal ini bukan berarti saya tidak percaya dengan Allah yang berkuasa menjaga hati hamba-Nya. Hanya saja untuk ihtiyatan atau kehati-hatian," sambungnya.

Fia mulai mengerti alasan  mengapa Kang Fikri mengambil  keputusan itu. Yang dikatakannya semua benar. Merasa bersalah karena tadi belum mengerti maksud sebenarnya tapi sudah menjatuhkan prasangka buruk.

"Saya sengaja tidak menjelaskan duduk permasalahan saat itu. Karena saya yakin, ini memang yang terbaik, meski hati saya juga harus dikorbankan. Karena di sini bukan hanya hati Fany yang dikorbankan," kembali Kang Fikri  menyambung kalimatnya.

Gus Amir mendesah, mengusap punggung kokoh sahabatnya seraya berucap. "Yang sampean lakukan sudah benar. Saya tahu, dibalik keputusan yang sampean ambil terselip kekhawatiran. Itu  wajar dalam diri setiap orang tersimpan kekhawatiran akan suatu hal. Semoga Allah ridhoi setiap keputusan yang sampean ambil."

"Aamiin. Terima kasih, Gus." Kang Fikri merasa lega. Semoga dia tetap konsisten dan benar-benar ikhlas.

****
Tiupan angin menerpa kulit wajahku. Bisa kurasakan sapuan begitu lembut hingga bekas  keringat yang semula ada menjadi kering. Menjadikan suasana taman yang lumayan sepi terasa romantis. Terlebih olehku yang memang seorang perasa.

Pagi ini adalah pertemuan pertama kami setelah David melamarku. Mengajak bertemu meski sebelumnya sudah kujabarkan batasan kami.

"Kenapa memintaku datang?"

Bukannya menjawab, David malah mengalihkan perbincangan. "Siapa yang pernah mengisi ruang di hatimu? apakah nama saya sudah sepenuhnya menggeser posisinya?"

Aku hanya bisa diam. Sama sekali tidak tahu maksudnya menanyakan itu. Jika menjawab tidak, berarti berdusta. Hal itulah yang membuatku bungkam.

David mengembuskan napas. Dia tersenyum, berusaha mengerti. "Semua pasti butuh proses, ya. Saya lupa dengan itu."

Aku hanya mampu memberikan  senyum tipis. Bingung mau berkata apa. Menjelaskan masa lalu pun sepertinya belum saatnya. Ada waktunya, ketika hati telah nyaman mungkin.

"Maaf, tapi bisakah kamu lebih berusaha lagi meyakinkan hati saya?"

David tersenyum simpul. Dia memang harus lebih berusaha keras untuk meraih hatiku yang terlalu lama dipasung oleh rasa pada seseorang dari masa lalu. "Tentu. Asalkan jangan ada yang kamu tutupi dari saya. Bisa?"

Aku dilema, apakah harus secepat ini. Yakin padanya saja sangat sulit, apalagi dengan hal ini.

"Bisa tidak?"

Sepertinya aku memang harus mencoba. "Insya Allah, saya akan coba."

Entahlah bagaimana jalan pikirannya. Aku hanya ingin membuka lembaran baru, maka harus konsekuen atas apa yang baru saja kupilih. Dan pilihanku adalah menerimanya. Memberikan kesempatan hatiku menggeser posisi Kang Fikri di sana. Berusaha menempatkan sosok lain dalam hatinya.


🍃🍃🍃

Maaf kemarin ndak jdi double update. Ini lagi sibuk ngurus seminar di kampus. Nyuwun sewu nggih. Pokoknya mohon maaf sekali.

Semarang, 18 Februari 2020

Revisi 31/3/21

Sepasang Hati (End)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon