17. Ujian Hati

1.9K 228 24
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA

'Aku dijadikan Allah perantara seorang Hamba menemukan takdir Islamnya, aku juga yang menjadi perantara mempertemukan hamba itu pada bagian dari kisah lalunya yang belum usai.'

~Alfany Ramadhani~

_________________________

Suara guyuran hujan menyambutku usai berkelana dalam mimpi. Mataku mengerjap beberapa kali sebelum bangkit. Kulirik jam dinding kamar telah menunjukkan pukul dua dini hari, menoleh ke kanan yang ternyata mendapati kasur lantai yang sudah kosong pertanda Syifa telah bangun.

Usai berwudhu, segera Kukenakan mukena lajur lalu  meraih mushaf Alquran di atas lemari kayu lantas menuju musholla pondok bagian putri. Keluar kamar bersama Syifa.

Kurang beberapa langkah kami sampai musholla, terlihat dari jauh seorang santri putra dengan payung dan senter berjalan mendekat. Sosoknya tak asing, mataku tak mungkin salah. Dia pria yang telah mematahkan hatiku. Kenapa Kang Fikri bisa ada di sini? Ya Allah, inilah ujian hati untukku.

"Mbak, ayo masuk. Keburu ramai mushollanya." Sebuah suara membuatku menoleh. Menyadari Syifa ternyata berdiri di sampingku dengan wajah basah, tangannya menggenggam mukena, di atasnya terdapat mushaf yang sama sepertiku.

Tanganku menahannya ketika dia hendak berjalan, menunjuk ke arah Kang Fikri. Memastikan penglihatanku tidak salah. "Ada apa, Mbak?"

"Kamu melihat pria itu? pria dengan baju koko warna hitam  yang berdiri di sana." Syifa mengangguk, memantapkan kebenaran yang kulihat.

"Kenapa, Mbak? Dia sepertinya santri baru di sini, soalnya aku juga baru melihatnya." Aku menggeleng, menyembunyikan detak jantung yang lagi-lagi berpacu tak wajar. Tidak seharusnya begini.

"Kenapa dia bisa di kawasan pondok putri?"

Kulihat dahi Syifa berkerut, seakan memastikan sesuatu. "Mungkin lagi jaga malam, Mbak," balasnya. Menarikku menuju musholla setelah memastikan Kang Fikri pergi.

Kilasan pertemuan pertamaku dengan pria itu berputar dalam pikiran. Pria yang dulu menuduhku ingin kabur dari pondok karena melihatku memanjat pagar untuk mengambil jemuran. Bukan pertemuan yang mengesankan, hanya kesan sebal dan tidak suka ketika pertama melihatnya. Bahkan dulu semua tentangnya adalah suatu hal yang paling tidak ingin kuketahui.

Ternyata pertemuan kami dulu hanya secuil bagian dari alur perjalanan cintaku. Tidak bisa dipungkiri bahwa semua tentangnya masih berkesan, menempati posisi tersendiri di  bilik hatiku meski semuanya harus melebur karena kenyataan yang tidak menerima rasa kami saat itu.

****

Matahari kian merangkak, memberi semburat merah pertanda pagi telah menyapa. Tanganku bergetar ketika terangkat, sedikit merasa nyeri pada pergelangan tangan. Luka sebab kecelakaan kemarin baru terasa sakitnya.

"Libur ngajar saja, Mbak. Melihat Mbak kesakitan seperti itu aku jadi ndak tega."

Aku hanya tersenyum. Sakit seperti ini bukan alasan bolos mengajar, lagi pula dengan mengajar aku bisa bertemu anak-anak didikku. Melihat mereka serasa melihat Ahmad, adik kecilku.

"Hanya luka kecil, Syifa. Aku masih bisa untuk sekedar mengajar anak-anak." Syifa menggeleng, memintaku untuk tetap duduk di kasur lantai yang ada di ujung kamar. Beberapa saat Syifa pergi lalu kembali dengan membawa kotak obat. Dia meraih tanganku, menyibak lengan seragam batik yang kukenakan hingga terpampang luka dengan area cukup luas.

Tangan Syifa perlahan mengoles luka itu dengan obat merah. Aku meringis, merasa ngilu ketika luka itu sedikit ditekan.

"Jangan buat aku khawatir dengan kondisi, Mbak Alfa. Mendengar kabar kemarin Mbak kecelakaan membuatku sedih, tolong kali ini libur dulu ya, Mbak."

Tanganku yang tidak terluka bergerak mengusap punggung tangan Syifa. Memberikan keyakinan padanya bahwa aku baik-baik saja. "Aku baik-baik saja, Syifa. Jangan khawatirkan aku."

Cukup lama aku bernegosiasi dengan Syifa untuk membiarkanku berangkat mengajar, menilik jam dinding  menunjukkan pukul setengah tujuh tanda aku harus segera berangkat. Tapi Syifa tidak pernah menyerah, dia meminta tolong Mbak Nana memberikan surat ijin pondok untuk diberikan pada sekolah tempatku mengajar sebagai ijin bahwa aku sakit. Dia selalu menang dalam hal negosiasi.

"Akhirnya libur juga, kan. Kalau urusan menyangkut Mbak Alfa, cukup matur ke ndalem, Ning Nana pasti akan ikut andil." Aku menghela napas, percuma membantah.

Tidak nyaman sebenarnya terus dengan posisi berbaring seperti ini. Aku yang biasa melakukan banyak hal sekarang hanya bisa menerima keadaan. Tidak boleh melakukan banyak pekerjaan karena tanganku katanya lukanya cukup serius, mengharuskanku istirahat dan tidak diperbolehkan banyak bergerak. Cukup lama berdiam, akhirnya kuputuskan muraja'ah hafalan. Meminta tolong Syifa yang kebetulan duduk di samping jajaran mushaf yang tersusun rapi dalam rak lemari untuk mengambilkan mushafku.

Syifa mengangsurkan tanpa melihat padaku hingga tanpa sadar menjatuhkan sebuah kotak kecil hingga dari sana keluar cincin dan selembar foto. Cepat-cepat Syifa memungutnya, metakkan kembali dalam kotak kecil itu.

"Itu apa, Syifa?"

"Hanya kotak pemberian seseorang dari masa lalu, Mbak."

Sebongkah rasa penasaran tiba-tiba datang. Ingin memastikan sesuatu, mencocokkan cerita dua anak manusia yang kisahnya sedikit memiliki kemiripan. Syifa pernah bercerita bahwa dia pernah berhubungan dengan seorang pria, karena dia memilih masuk Islam saat itu juga hubungan mereka tidak bisa berlanjut. Pria itu tidak bisa  menerima keputusan Syifa.

"Boleh, Mbak melihat isinya?" Dengan sedikit ragu aku berucap, tapi karena rasa penasaran akhirnya kalimat itu terlontar.

Tak ada balasan dari Syifa, tapi tangannya bergerak menyerahkan kotak itu padaku dibarengi sebuah pengakuan yang sontak membuat hatiku sedikit tersentil.

"Pria yang memberikan itu adalah dia yang selalu aku doakan segera mendapat hidayah dari Allah sepertiku. Dia David Imanuel, tunanganku."

Tanganku bergetar, paru-paruku mendadak kesulitan meraih oksigen. David yang Syifa maksud  ternyata sama dengan David yang beberapa waktu lalu kuberikan kesempatan mengenalku lebih dekat. David yang mengatakan masa lalunya dengan wanita yang memilih meninggalkannya karena Islam, wanita itu ternyata Syifa. Vanila Fransiska, nama Syifa sebelum memeluk Islam. Nama yang juga tertera pada gantulan lafadz Allah di mobil David. Kenapa aku tidak bisa memahami itu?

Air mata Syifa lolos, mengambil foto pria bermata sipit yang sudah kuletakkan ke dalam kotak. Mengangkat cincin berwarna putih bertahtakan berlian di depanku. "Aku selalu menunggunya, Mbak. Aku ingin kami bisa bersama meski aku sendiri tidak yakin apakah bisa berjumpa dengannya kembali."

"Aku sangat merindukannya. Aku kembali ingin bertemu dengannya, Mbak."

🍃🍃🍃


Semarang
١٦ رمضان ١٤٤١ ه
malam 8 Mei 2020

Revisi 1/4/21

Sepasang Hati (End)Where stories live. Discover now