22. Pilihan (2)

1.9K 217 45
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
_________

Mata Kang Fikri memanas, meraih foto wanita yang telah melahirkannya. Bertaruh nyawa hingga akhirnya harus tiada usai melawan penyakit. Dalam baringan berbantal paha kakaknya dia merasakan kasih sayang tidak pernah sekalipun berpaling. Dari bayi hingga dewasa semua limpahan kasih sayang telah didapatkan. Umi, Bapak, Abah hingga Mbak Nana selalu memberikan kasih sayang tak terkira.

Tangan wanita berperut buncit yang pahanya di jadikan bantalan bergerak mengusap rambut sang adik. "Mbak dan Abah hanya menginginkan yang terbaik untukmu. Maaf, mungkin kami memaksamu atas pilihan kami."

Kang Fikri beranjak dari baringan, mengubah posisi menjadi duduk. Matanya menyorot mata wanita di depannya yang digenangi air. "Lana ikhlas memilih salah satu dari mereka. Tidak ada penyesalan sama sekali dalam hati. Semua yang Mbak Nana dan Abah lakukan adalah yang terbaik."

"Semoga kamu bahagia, Lan. Mbak, Mas Dum dan Abah selalu berdoa yang terbaik untukmu." Menepuk lengan Kang Fikri.

Dengan gerakan pelan wanita berperut buncit itu berusaha berdiri, meraih tangan sang suami yang telah terulur untuk digapai. Senyum Kang Fikri tersungging, melihat sepasang suami istri itu saling menyayangi, menghadapi cobaan bersama dengan sabar. Bagaimana lamanya mereka menanti momongan yang akhirnya sekarang diberi. Setelah mengalami keguguran, kakak dari Kang Fikri itu sempat diperkirakan tidak bisa memiliki momongan. Tapi sekarang lihat, kehendak Allah diluar perkiraan manusia. Menghadirkan janin kembar dalam rahim Ning Nana.

Kepala Kang Fikri menoleh, melihat jam dinding telah menunjukkan pukul sembilan malam. Pantas matanya mulai terasa berat. Langsung saja Kang Fikri menuju kamar. Membaringkan tubuh menjemput alam mimpi, berharap esok raga dan jiwanya siap menghadapi kenyataan yang sedang menanti.

****
Ditempat lain Fany dengan dandanan cukup tebal masih duduk di dekat pintu masuk sebuah gedung tempat pernikahan digelar. Dia bertugas sebagai penerima tamu, diharuskan pula oleh sang mempelai wanita yang tak lain anak dari Bude nya untuk dia ikut dirias pula.

Tak henti-hentinya Fany mengumbar senyum pada tamu undangan yang bukan semakin susut malah kian ramai meski malam sudah mulai larut. Pukul sembilan harusnya sudah usai acara walimatul ursy, tapi mundur hingga semua tamu undangan sudah pulang tepatnya pukul sepuluh.

"Dek, kapan kamu nyusul? Mbak sudah menikah, giliran kamu bulan depan." Fany tersenyum, selalu saja anak dari Bude nya itu menggoda. Meski tidak lupa dalam hati turut mengaminkan sebenarnya.

Bahkan beberapa waktu lalu dirinya sempat mendapat kiriman banyak chat dari pria yang tak dikenal, tidak lain karena ulah saudara sepupunya itu.

"Nanti kalau sudah ada jodohnya, Mbak." Jujur, dalam hati kecilnya Fany ingin segera menikah. Tapi, apa boleh buat jodoh belum menjemput. Mungkin esok atau pekan depan atau entah kapan, yang pasti sudah siap jika saatnya tiba.

"Jangan lama-lama, keburu Mbak hamil. Nanti ndak bisa rusuhin acara nikahan kamu." Balas sepupu Fany mengundang tawa dari beberapa orang disekitarnya.

Acara telah usai dua puluh menit lalu, sekarang Fany berserta keluarga kecilnya pun telah berada di rumah. Membersihkan diri sebelum tidur.

Entah apa yang membuatnya masih bergadang, Fany belum bisa menutup mata. Mengingat ucapan kakak sepupunya tadi seakan membuatnya penasaran pada sosok pilihan sang Ayah. Tak jauh berbeda ternyata, ketika akhirnya Fany memutuskan keluar kamar untuk mengambil minum dilihat Ayahnya masih duduk di atas karpet tebal ruang tengah dengan televisi menyala.

Sepasang Hati (End)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt