35. Cintanya luar biasa

1.9K 294 19
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN AL-QURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA

****

Sabar, cukup menanti balasan luar biasa pada akhirnya.
_____________

Tatanan piring berisi makanan di meja makan sudah tersaji begitu rapi. Sarapan kali ini terasa lebih menyenangkan karena ada tambahan anggota keluarga baru. Semuanya lengkap.

"Nduk, tolong buatkan teh tawar untuk suamimu. Dia suka minum itu setelah makan ketimbang air putih." Bunda Anisa yang memang telah hafal kebiasaan suaminya mengambil cangkir lalu menyeduh teh tanpa gula. Meletakkan di meja makan.

"Umi ndak tau harus bagaimana mengungkapkan rasa bahagia selain ngucap hamdalah berkali-kali. Ini hari yang sejak lama kami tunggu, Nduk." Kembali mata wanita paruh baya itu berkaca-kaca.

"Saya juga tidak menyangka jika Ayahnya Ahmad adalah anak seorang pemilik pondok pesantren, Umi. Yang saya tahu Ayahnya Ahmad adalah anak dari Bu Nikmah dan Pak Pratama. Ternyata beliau berdua bukan keluarga kandungan."

"Bu Nikmah adalah Ibu susuan Husein, beliaulah yang menyusui Husein saat Umi koma selama enam bulan setelah melahirkan Husein. Ternyata Husein pergi ke rumah beliau setelah diusir dari sini dan puluhan tahun tinggal bersama mereka. Lalu bagaimana kabar Bu Nikmah dan Pak Pratama?"

Bunda mengembuskan napas pelan. "Mereka sudah meninggal, Umi. Beberapa tahun yang lalu." Umi tersentak, cukup terkejut sebelum akhirnya mengucap tarji'.

Tak berselang lama, uluk salam dari arah luar menggema. Suara langkah kaki kian jelas terdengar hingga berakhir di ruang makan. Senyum Bunda Anisa mengembang, mengulurkan tangan mengecup punggung tangan milik suaminya lalu memintanya duduk. Menikmati sarapan bersama dengan hening hingga usai. Disambung menikmati suasana baru setelah  sarapan, duduk di teras ndalem sembari berbincang ringan.

Tarikan dua sudut bibir tak pernah surut dari wanita paruh baya dengan balutan gamis serta hijab warna krem. Matanya sesekali memanas menatap tubuh mungil cucunya yang tengah asik bermain bola dengan para santri.

Merasa kasihan dengan situasi yang telah dialami keluarga kecil putranya. Pernah pada posisi puncak, sukses dengan gelimang harta namun harus gulung tikar usai penggelapan dana perusahaan yang dilakukan  oleh oknum bagian keuangan. Kali ini berada pada posisi di bawah, hanya mengandalkan usaha kecil dengan membuka bengkel motor dan mobil, itupun dengan modal pinjaman.

Entah, seberapa sulit cobaan yang menimpa mereka. Sekarang saatnya sepasang suami istri paruh baya ikut andil membantu kondisi keuangan putranya, memberikan apa yang seharusnya menjadi milik putranya sejak lama.

"Kalian tinggal lah disini. Abah dan Umi ingin kalian melanjutkan mengurus pondok dan usaha kami," ucap Kiai Hasan. Mengusap pelan punggung putranya.

"Iya, Le. Tinggallah disini, kami sudah sepuh dan pondok ini juga butuh pengasuh baru untuk mengurus. Kami juga sudah tidak sanggup mengawasi usaha dagang sembako, apalagi tiga gudang sembako besar itu berada di tiga kecamatan yang cukup jauh dari sini," imbuh Bu Nyai Khadijah.

Ayah Abbas membeku, merasa sudah saatnya ia berbakti kepada orang tua kandungnya, namun dilain sisi ada putrinya yang tinggal di kota berbeda jika mereka tinggal di sana. Mungkin tidak untuk sekarang, beberapa hari ke depan mungkin. Dia sampai melupakan belum memberitahu orang tuanya jika dia juga memiliki seorang putri yang telah menikah.

"Insyaallah, Umi, Abah. Mungkin tidak sekarang, ada putri kami yang belum tahu kami kemari."

Alis Bu nyai Khadijah bertaut, menatap lekat putranya. "Kamu juga punya anak perempuan, Le?" Ayah Abbas mengangguk, mengatakan jika putrinya telah menikah baru saja lantas menyerahkan selembar foto pernikahan pada Uminya lalu mendapatkan tanggapan berupa senyuman.

"Bah, besok kita ikut Husein pulang, ya. Sekalian kita ketemu cucu kita yang cantik." Anggukan pelan Kiai Hasan berikan usai melihat foto yang diberikan istrinya dan sebuah kalimat sederhana yang begitu membuatnya ikut tersenyum.

****
Mataku mengerjap, menghalau  cahaya matahari yang mengenai wajahku dari jendela dengan telapak tangan. Bukannya bangun menyiapkan sarapan usai sholat subuh, malah kantuk kembali melandaku. Menatap mentari kian tinggi dari jendela. Sontak  tanganku langsung bergerak meraih hijab instan, memakai sekenanya lantas berjalan menuju dapur untuk memasak sarapan.

Aroma harum bumbu yang menguar dari arah dapur membuatku berhenti sejenak, menebak apa yang dilakukan suamiku di dapur.

Setelah perundingan panjang, kemarin dia memutuskan ikut menginap bersamaku. Meminta Mbak Nana dan Mas Dum menginap di ndalem, sementara kami tidur di rumah Ayah dan Bunda. Entah, kemana Ayah dan Bunda pergi, rasa khawatir tetap ada meski sebuah chat dari Bunda telah datang dan mengatakan sedang menginap di rumah saudara kami yang ada di kota Pekalongan. Dan itu membuatku masih saja khawatir, karena setahuku kami tidak memiliki saudara yang tinggal di sana. Di rumah siapa mereka? Semoga mereka baik-baik saja di sana.

Tawaku menyembur usai tertahan cukup lama melihat sosok pria dengan sarung dan kaos warna hitam bergambar tokoh Kapten Amerika. Sosok itu tampak tengah bergelut dengan wajan. Sesekali menutup matanya kala bumbu yang telah berhasil dihaluskannya masuk dalam wajan berisi minyak goreng panas. Kembali melanjutkan aksi masaknya usai bumbu yang tadi dimasukan telah bersahabat, malah kini terlihat memasukkan bahan lain ke dalam wajan.

Dia menoleh ketika mendengar semburan tawaku, berjalan mendekat lalu menarik lenganku lantas membawaku di depan wajan berisikan jengkol yang tak lain adalah hasil karyanya. Rendang jengkol, mungkin.

"Coba kamu incipi, takut keasinan atau tidak layak dikonsumsi." Aku terkekeh pelan, mengambil sendok seraya mengambil sedikit kuah masakannya sembari  menatap wajah penuh harap akan penilaian bagus dariku atas masakannya.

Satu sendok kuah rendang jengkol berhasil masuk, mengecapnya  beberapa kali sembari masih  menikmati wajah penasaran miliknya.

"Lumayan enak, layak dimakan kok, Mas." Sedikit keasinan, tapi lumayan enak untuk tingkatkan pria yang jarang berkecimpung dalam urusan masak di dapur.

Tarikan dua sudut bibirnya menandakan bahwa dia begitu senang usai mendengar komentarku tadi.

Setelahnya dia memindahkan rendang jengkol itu ke dalam mangkuk lantas berjalan menuju hamparan tikar di depan televisi yang juga telah ada nasi dan telur dadar dalam satu piring. Aku menatapnya penuh tanya yang dibalasnya dengan anggukan pelan, memberi isyarat dengan jarinya jika kita akan makan sepiring berdua.

Mendadak mataku memanas mendapat perlakuan istimewa darinya, mengusap lembut jemarinya yang disambut olehnya dengan genggaman erat. "Aku sampai kapanpun akan terus menjadi suamimu, Fan. Jadi jangan merasa bukan siapa-siapa, kamu adalah istriku dan ibu dari anak-anakku kelak. Allah telah menakdirkan kita bersama, jadi jangan merasa tidak seberapa." Seketika aku menubruknya dalam dekapan, memeluknya seerat mungkin sebagai ungkapan aku percaya padanya.

Usai pelukan kami terlepas, dia meraih sebuah piring di hadapannya, memintaku duduk lalu meletakkan diantara kami.  "Kita makan satu piring, ya. Ndak tahu kenapa pingin banget," ujarnya sembari menyendokkan rendang jengkol di atas piring. Benar-benar melakukannya sendiri tanpa memperbolehkan aku turut andil, membuatku menjadi wanita istimewa untuknya, itu yang diinginkan. Karena baginya aku pantas mendapatkan perlakuan istimewa usai perjuangan panjangnya mendapatkanku yang penuh rintangan.

Hatiku benar-benar menghangat, mendapat perlakuan begitu istimewa darinya. Dia memang bukan manusia sempurna, tapi bagiku dia luar biasa dengan cintanya.

****


Semarang
Malam Jum'at
13 Agustus 2020

Revisi 19/4/21

Sepasang Hati (End)Where stories live. Discover now