44. Teman lama

1.4K 170 24
                                    

Assalamualaikum. Maaf nggeh baru update lagi cerita ini. Dunia nyata lagi sibuk, kalau update juga paling cerita satunya yang memang harus segera rampung. Ndak nyangka sudah masuk bulan Rajab lagi juga. Jangan lupa doanya dibaca. Bisa cek Part bulan Rojab yang saya update sebelumnya.

Tinggal satu part lagi ending terus epilog. Terima kasih yang sudah ngirim foto untuk part ini.

Happy reading...
______________________

"Ternyata takdir menghendaki reuni kali ini dengan sebuah kejutan. Sosok wanita yang berani beradu mulut denganku sekarang hanya bisa berpuas duduk di atas kursi roda."

Mataku terpejam sesaat, mengatur napas sebelum membalas ucapannya. Sosok teman lama ini ternyata tidak berubah. Masih sama seperti dulu, tidak bisa menahan kalimat sumbang yang menyakitkan.

"Alhamdulillaah Allah sayang padaku, Cintya. Dia tahu cara yang tepat membuat dosaku berkurang."

Cintya tersenyum kecut, merendahkan kepalanya hingga berada tepat di depan wajahku.

"Tentu, karena kamu memang pantas mendapatkan ini. Semua keberanianmu yang dulu begitu kuat perlahan menciut. Dan ya, kamu memang beruntung. Beruntung karena tidak bisa berdiri tegak sepertiku."

Cintya memperlebar jarak kami, memandangku dari ujung kaki hingga kepala. Menggeleng pelan sambil kembali menerbitkan seringaian.

"Ucapanmu benar, setidaknya peluangku melakukan dosa dengan kaki berkurang. Kamu harus banyak bersyukur, jangan sampai ketika nikmat Allah yang berikan padamu ditarik tapi kamu tidak sadar."

"Tentu aku bersyukur. Jauh lebih beruntung darimu. Aku tidak yakin suamimu mampu bertahan hidup denganmu lama, melihat kondisimu begini."

Sesuatu dalam dadaku terasa nyeri, seolah dihantam kebenaran ucapannya barusan. Perlahan menunduk dalam. Melihat kaki Cintya mundur lalu berbalik badan hingga meninggalkanku yang masih terngiang ucapannya barusan.

Wajahku perlahan tengadah ketika merasakan sebuah usapan lembut di punggungku.

"Maaf meninggalkanmu sendiri, Fan." Aku menggeleng.

"Tidak masalah, Fia."

"Sudah ke kamar mandinya?" Aku mengangguk pelan lalu memintanya menemaniku kembali ke posisi semula.

Senyumku tidak bisa mengembang sempurna. Kembali teringat ucapan Cintya tadi.

"Fan, kok ndak habis makanannya? Biasanya suka tho, Malik mawon sampai ndak bosen ngajak kamu makan bareng kalau mbak ndalem masak rendang ayam," ucap Kang Fikri. Sedikit aneh mungkin dengan sikapku. Tidak biasanya menyisakan makanan yang jelas dia tahu itu kesukaanku.

"Sudah kenyang, Mas," balasku lirih dengan senyum tipis.

"Ada apa?" Aku menggeleng.

Terdengar jelas Kang Fikri mengembuskan napas.

"Njenengan belum ketemu Mas Anam?"

Kang Fikri menatapku lekat. Tau persis aku sedang menutupi sesuatu dengan mengalihkan obrolan. "Gus Anam lagi sama dosen lain, Fan. Sampean mau ketemu Masmu itu?"

"Nanti pasti ketemu juga sih, Mas. Aku mau duduk disini aja."

Aku dan Kang Fikri hanya duduk sambil menikmati lantunan shalawat yang dilantunkan oleh mahasiswa dalam grup rebana. Sesekali melihat dua sahabatku yang tengah duduk bersama anak-anak mereka tak jauh dari tempat kami duduk. Terlihat pula Gus Amir dan Gus Fauzan tampak mengobrol.

Kami memang memutuskan pindah ke tempat yang tidak terlalu ramai. Karena aku tidak terlalu nyaman sebenarnya dengan keramaian. Entah, kesunyian seolah sangat akrab denganku sekarang.

Sepasang Hati (End)Where stories live. Discover now