5. Prasangka

3.4K 302 22
                                    

السلام عليكم
بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد

JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA.

****

Siap mewek?
Semoga terjawab penasaran kalian dan tidak mengecewakan.

Yuk, di warnai bintangnya. Di komentari juga...
Typo tolong ditandai nggih😊
______________

Manusia tentu boleh berencana dan berusaha. Tapi endingnya seperti apa tetap mutlak milik Allah. Aku hanya berusaha mengobati hati yang terluka dengan caraku sendiri. Itu saja.

Aku mengulum senyum memandang gugusan bintang terhampar di langit malam dari teras. Hembusan angin yang  menerpa dedaunan membuatnya  merunduk hingga menghasilkan bunyi gesekan menjadikan suasana syahdu.

Mata ini terpejam lalu terbuka setelah ada usapan ringan di punggung. Sedikit menoleh, menampakkan Ayah yang sudah memposisikan diri duduk di sebelahku.

"Nduk, jangan terlalu lama di luar. Angin malam ndak baik buat kesehatan," ucap Ayah. Menepuk tanganku yang tergenggam di atas pangkuan.

Aku tersenyum, mengapit lengan Ayah lalu bersandar di sana. Lengan yang selalu banjir keringat ketika mencari rupiah untuk memberikan nafkah pada keluarga kami.

Fabiayyiaalaa irobbikumaa tukadziban. Maka nikmat Tuhan-Mu yang manakah yang kau dustakan?

Inilah nikmat yang Allah berikan pada setiap anak, yaitu memiliki waktu bersama orang tua. Kunikmat apa yang dulu belum pernah kurasakan sebelumnya.

"Aku hanya ingin menikmati dan mensyukuri semua yang sudah Allah ciptakan dan beri, Ayah."

"Seperti Allah menciptakan takdir pada setiap hamba-Nya, Nduk. Takdir itu penuh rahasia."

Aku mengangguk, mengingat begitu luar biasa jalan takdir yang Allah beri pada keluarga kecil kami. Benar, roda kehidupan pasti berputar. Ada waktunya ketika sudah berada di atas akan bergilir di bawah. Dan itu adalah bukti keadilan Allah. Memberikan masing-masing hamba merasakan posisi berbeda dari sebelumnya.

Kutatap wajah Ayah, melihat gurat di kening menandakan usianya semakin senja. Ayah membalas tatapanku dengan seutas senyum. Bibirnya mulai bergerak, merangkai kata hingga membentuk sebuah kalimat. Tampak mata Ayah perlahan muncul linangan air, hendak meluncur namun tertahan ketika sebuah tarikan napas panjang diambil.

Dengan suara bergetar Ayah mulai menjelaskan semua yang selama ini tidak aku ketahui. "Mungkin dulu Ayah dan Bunda sempat terlena oleh dunia. Melupakan kewajiban sebagai orang tua untuk mendidik. Namun, dibalik semua yang kami perbuat bukan semata-mata untuk kami sendiri, melainkan untuk kenyamanan dan masa depan kalian, anak yang kami sayangi."

Hatiku nyeri seperti tertohok. Semua prasangka burukku dulu ternyata keliru. Menyesal karena sempat meragukan kasih sayang mereka.

Aku terdiam, tak ada niatan sedikitpun menimpali. Mendengarkan dengan tetap mengunci bibir hingga benar-benar selesai. 

Masih dengan suara bergetar, Ayah kembali melanjutkan kalimatnya. "Kami bukan dari keluarga berada, hanya makan nasi berteman garam pun sudah biasa. Tapi kami tidak ingin kalian merasakan hal yang sama. Sepanjang hari kami bergelut dengan kertas-kertas, menghadiri rapat, dan berulang-kali keluar kota, hingga semua yang kami impikan tercapai. Namun, pada akhirnya kami melupakan niat awal kami untuk membahagiakan anak kami. Terlena surga duniawi dan melupakan anak kami yang bukan hanya butuh materi, tapi juga butuh kasih sayang."

Tangan ayah bergerak mengusap puncak kepalaku. "Bertahun-tahun kami mengabaikanmu, hingga kami tersadar ketika kami pulang ke rumah hanya menemukan dua helai baju dalam lemarimu, Nduk. Maafkan atas kelalaian kami." Aku menggeleng kuat. Meraih punggung tangan Ayah lalu mengecupnya. Ayah sempat akan melanjutkan kembali ucapannya, tapi segera potong, memohon untuk berhenti. Karena aku tahu persis kelanjutannya.

Tanpa terasa netraku mulai terhalang selaput bening tipis. Isakan tak lagi mampu terbendung. Aku memeluk erat tubuh Ayah. Menumpahkan segala prasangka dan kecewa dengan luruhan air mata.

Jujur, aku sempat kecewa dengan keputusan mereka mengejar harta dunia hingga lalai padaku walaupun niat awalnya bukan itu. Tapi sekarang aku tahu alasan mereka melakukan itu, tidak lain juga untuk kebaikanku. 

"Kami hanya ingin kalian tidak merasakan susah yang pernah kami rasakan. Walau pada kenyataannya takdir Allah menghendaki keluarga kecil kita merasakan hal serupa."

Aku kembali menggeleng. Bukan kenyamanan dari limpahan harta yang kudambakan, namun kasih sayang. "Fany dan Ahmad tidak menuntut banyak hal pada Ayah dan Bunda. Kami hanya ingin kasih sayang utuh, itu saja."

Sungguh, dalam lubuk hatiku paling dalam aku meminta maaf pada Ayah dan Bunda atas prasangka burukku dulu. Semoga Allah ampuni dosaku ini, dan semoga Allah tidak memasukanku dalam golongan orang yang durhaka pada kedua orangtuanya.

****

"Mbak, mau diapakan baju Lana? Kenapa dimasukan ke dalam ransel?" Gus Lana hanya mematung sembari menatap heran ketika melihat Kakaknya mengemasi sebagian bajunya. Ia dibuat bingung dengan perbuatan wanita dengan perut buncit itu.

Ning Nana tidak berniat membalas ucapan Gus Lana. Ia terus saja sibuk memasukan baju dan beberapa benda penting ke dalam ransel milik sang Adik.

"Mbak, ada apa? apa mbak ingin mengusirku?" Gus Lana terus bertanya, namun tak kunjung mendapat balasan. Hingga tangannya bergerak meraih tubuh sang Kakak, mendudukkannya pada ujung ranjang lalu duduk bersimpuh di hadapannya.

"Aku minta maaf jika ada salah, tapi jangan usir aku dari sini, Mbak."

Ning Nana menggeleng dibarengi isakan kecil dari bibirnya.

"Justru Mbak yang seharusnya meminta maaf. Memaksamu mendekati banyak wanita tanpa tahu siapa yang sebenarnya kamu mau." Tangan Gus Lana terangkat mengusap air mata Ning Nana.

"Mbak tidak salah. Aku tahu maksud Mbak baik, hanya aku saja yang tidak mau menuruti. Tapi kenapa Mbak kemasi bajuku?" Pria itu masih belum paham dengan maksud Kakaknya.

"Carilah dia, pemilik hijab itu. Maaf jika semalam Mbak lancang melihat dan mendengar ucapanmu ketika menggenggam hijab pastel itu," ucap Ning Nana. Menunjuk seonggok hijab yang tergeletak di samping nakas. Cepat-cepat Gus Lana mengambil benda yang dimaksud.

"Mbak, ... "

"Carilah dia, bawa dia kemari. Mbak dan Abah akan membantumu meminta dia pada
orang tuanya."

Sungguh, Gus Lana tidak mampu menutupi kebahagiaannnya. Dipeluk erat tubuh wanita di depannya sampai melupakan satu nyawa yang bermukim di perut sang Kakak.

"Lan, Jangan terlalu kenceng meluknya. Kasihan Mahdum junior di perutku." Tangan Ning Nana bergerak mengurai pelukan. Meringis sambil mengusap perut buncitnya.

Mendengar ucapan kakaknya, seketika Gus Lana melepas pelukannya. Terkekeh pelan ketika melihat ekspresi wajah dari kakaknya. "Maaf, Mbak."

"Bersiaplah sebelum matahari semakin tinggi. Motor kesayanganmu sudah ada di teras."

Gus Lana tersenyum, mengangguk. Bersiap sebelum kembali ke pondoknya. Kembali mencari informasi keberadaan pemilik hijab warna pastel itu.

Maulana Abdul Fikri, sosok pria yang sama dengan pria yang tiga tahun lalu dijumpai Fany di pesantren tempatnya menimba ilmu dulu. Pria yang membuat hatinya bergetar tak biasa, ia adalah Kang Fikri.

🍃🍃🍃

Sudah tahu siapa Lana? Yang kemarin nebak Gus Lana itu Fikri jawabannya benar.

Ramaikan Ig ku juga, kalau mau😁

@luthfi_luthfia63
@azizah.63

Semarang, 14 Oktober 2019

Revisi 30/3/21

Sepasang Hati (End)Where stories live. Discover now