36. Kebenaran dari Ayah

1.7K 260 63
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA

***

Tawaku menyembur melihat Kang Fikri mendekat dengan wajah penuh tepung, mengedipkan mata dengan bulu mata berubah warna menjadi putih.

"Pripun tho, mas? Kok bisa kayak begitu wajahnya?" Dengan cepat Kang Fikri meraih sapu tangan yang kuberikan padanya.

"Demi kamu, Sayang. Katanya pingin cireng, ya udah tak buatin aja." Aku terkikik pelan, mengambil alih olenan bahan yang ditinggalkan tadi. Meneruskan usahanya membuat cireng untukku dengan sesekali terkikik pelan mengingat wajah suamiku tadi hingga cireng matang dan terhidang di hadapan kami. Tak lupa dengan cocolan bumbu pedas pesananku, sambal rujak dengan kuah cair buatannya.

"Enak?" tanyanya. Penasaran bagaimana pendapatku akan hasil bumbu racikannya untuk cireng serta sambal.

Aku mengulas senyum, mengangguk. Bukan sekedar isapan jempol belaka, hasil karyanya kali ini memuaskan. Melanjutkan kembali makan cireng hingga tersisa satu untuknya.

"Fan, pulang yuk." Aku batal mengambil tisu untuk mengelap bibir, beralih menatap Kang Fikri. Menunduk, merasa bersalah meninggalkan ndalem tiga hari dengan alasan perasaan yang sebenarnya bisa kuredam.

"Maaf, Mas. Membuatmu repot karenaku." Ia menggeleng, mengusap kepalaku pelan.

"Aku tidak merasa direpotkan, kamu tanggung jawabku. Jika ada yang membebanimu bagilah denganku, jangan sembunyikan apapun sendiri sampai membuatmu bersedih, seperti kalimat tidak mengenakan yang ditujukan padamu." Mataku membulat, menatap lekat Kang Fikri. Kukira dia tak tau akan masalah itu, ternyata dia tau dan memilih waktu yang tepat untuk mengatakan. Sekarang tentunya.

"Mas, aku ... "

"Kita bukan orang asing, kita pasangan. Mana mungkin tak ada rasa sedih yang menimpaku jika separuh bagianku merasakan." Dia menyingkirkan piring berisi cireng dan sambal lantas menarikku dalam dekapan hingga mengalirlah semua cerita tentang insiden yang menjadi alasan utamaku meninggalkan ndalem.

"Insyaallah, semua akan baik-baik saja. Jangan simpan bebanmu sendiri lagi."

****
Bukan langsung pulang ke ndalem, Kang Fikri membawa mobilnya ke arah lain terlebih dahulu. Berhenti di sebuah rumah kayu sederhana dengan model panggung. Memintaku turun mengikutinya masuk ke dalam rumah dengan nuansa klasik. Tatanan perabotan kayu yang rapi serta ada lukisan kaligrafi ayat kursi dengan jenis khat diwani dan tak lupa dua foto dengan ukuran tak terlalu besar. Satu foto kakek Kang Fikri yang tak lain Ayah dari Bapak dan Abah dan satunya lagi foto sepasang suami istri dengan bayi dalam gendongan. Siapa lagi kalau bukan foto Bapak, Ibu serta Kang Fikri.

"Itu lukisan kaligrafi beli di mana, Mas?" Aku menunjuk lukisan di dinding.

"Bukan beli, tapi dibuat sama yang ahli," balas Kang Fikri. Mengambil lukisan itu lalu mengusap bagian yang berdebu dengan kain. "Mau buat sekarang?"

Aku mengangguk, antusias dengan hal baru. Terlebih dari dulu aku ingin belajar membuat khat kaligrafi. "Kita ke rumah yang buat sekarang ya, Mas? Dimana?"

"Di hatimu, Sayang." Aku mengerucutkan bibir, aku serius tapi dibalasnya dengan gurauan. Tawanya pecah, menuntunku duduk di kursi ruang tamu, meletakkan lukisan itu di posisi semula. "Lha wong yang buat aku, kok."

"Jangan bohong, Mas."

"Kok ndak percaya sama suamimu ini yang dulu juara buat khat kaligrafi tingkat kota." Aku terkekeh, mengangguk sekilas. Agak terkejut, ternyata dibalik sikap menyebalkannya tersimpan bakat terpendam. Semoga kelak anak-anak kami punya kecerdasan menurun darinya. Bukan hanya jiwa wirausaha saja, ilmu agama yang bagus serta punya jiwa seni juga. Untuk rupa dan warna kulit, semoga menurun dariku saja karena lebih putih. Aku mengulas senyum sembari menggeleng pelan. Ada-ada saja, pikiranku mulai berkelana kemana-mana.

Sepasang Hati (End)Where stories live. Discover now