24. Nyata?

2.2K 276 136
                                    

Double update. Vote dan komentar yg banyak pokoknya buat lanjut.

Happy reading
________

Sebuah guncangan membuat mataku terbuka, mengerjap pelan. Wajah Syifa menjadi pemandangan pertama yang kulihat. Menoleh ke samping menyadari posisi tubuhku tengah berbaring di atas ranjang king size sebuah kamar bercat abu-abu.  Menyadari hal itu, sontak  membuatku bangkit seketika dari posisiku sekarang. "Syifa, apa aku tertidur di sini?" Syifa mengangguk. Menjawab kebingunganku. Membuatku mengingat akan sesuatu yang telah terjadi baru saja di tempat ini, rupanya hanya mimpi.

"Gus Lana sudah pulang?" Kembali Syifa mengangguk.

"Sudah dari tadi. Sampean di suruh ke ruang tengah sama Abah Kiai, Mbak." Cepat kurapikan baju serta hijab yang kukenakan. Sambil membenarkan posisi hijab yang masih tak beraturan, aku berjalan menuju tempat Abah Kiai berada. Dengan jarak dua meter, posisiku yang mulanya  berjalan dengan kaki berganti dengan lutut. Berjalan menunduk dengan tangan tergenggam. Berhenti lantas duduk bersimpuh di hadapan pengasuh pondokku dengan jarak cukup dekat yang tengah duduk di sofa sudut ruangan.

"Wonten nopo Abah memanggil dalem?" tanyaku dengan lirih.

"Tadi saudaramu menitipkan bingkisan untukmu, coba nanti malam tanyakan sama Lana. Dia yang mendapat amanah, tapi sekarang sedang keluar." Aku mengangguk sambil menebak siapa yang menitipkan barang untukku.

"Ya Wes, sekarang wangsul mawon ke pondok. Semua tugas di ndalem sudah selesai, besok bantu Nana siapkan hidangan untuk tamu, Nggih."

"Inggih, Abah."

****

Lambaian tangan Syifa membuat langkahku berbelok dari tujuan sebelumnya menuju tempat Syifa berdiri. Wanita itu tampak tak sabar rupanya, berjalan cepat ke arahku lalu menarik tanganku untuk ikut dengannya. "Ada apa, Syifa?"

Bukannya membalas, Syifa malah menunjuk sebuah objek tak jauh dari kami. Jajaran tampah dengan daun pisang pada atasnya menjadi pemandangan kami. "Nanti malam mayoran Gus Lana. Nanti, Mbak duduk di barisan paling ujung dekat dengan ndalem, ya."

"Kok Mbak sih, kamu aja. Mbak nanti malam mau ambil titipan di ndalem."

"Maka dari itu pilihanku tepat, tempat yang paling dekat dengan ndalem buat Mbak Alfa."

Aku menggeleng. Yang benar saja harus masuk ndalem lewat jalan khusus milik keluarga ndalem saat sidak di pondok. Tidak sopan, dan itu tidak mungkin kulakukan. "Nggak, Mbak lewat samping dapur saja. Nggak berani lewat situ," balasku kemudian pamit pada Syifa. Meninggalkan aula menuju kamar.

Sampai kamar ingatanku kembali memutar masa lalu, wajah Fia dan Nadya datang menemaniku dalam sunyinya kamar. Mengulang masa-masa makan bersama, pergi kemanapun bersama bahkan tidur di ranjang yang sama seperti di kost dulu. Makan dalam satu tampah seperti persiapan tadi di aula juga pernah kami lakukan di pondok milik Gus Amir saat Fia telah sah menjadi istrinya. Aku rindu mereka.

Sebuah notifikasi dari gawai menghentikan lamunanku, melihat pesan datang dari Mbak Nana mengabari ada tamu untukku di kantor kunjungan kerabat santri. Melirik jam menunjukkan pukul lima sore, pantas saja tidak ada suara panggilan lewat sound yang terdengar.

Senyumku mengembang ketika sampai di tempat dengan rimbunan manusia yang duduk disana. Wanita berhijab navy dengan tangan melambai memberi isyarat keberadaannya di antara puluhan kepala.

"Apa kabar, Mbak Fany?" Dia mengulurkan tangan menunggu balasan dariku.

"Alhamdulillah, baik. Lalu kamu sendiri bagaimana?" balasku menjabat tangannya dan menariknya dalam pelukan kerinduan.

Sepasang Hati (End)Where stories live. Discover now