Selamat Tinggal, Jeni

1.3K 108 32
                                    

Jeni tidak tidur semalam. Bukan, bukan semalam tapi sepekan terakhir. Ia sama sekali tidak bisa memejamkan mata beberapa hari ini. Tapi anehnya ia tidak merasa mengantuk. Hanya saja ia tidak bertenaga. Awalnya ia tidak ingin pergi ke sekolah hari ini. Ia tidak ingin melakukan apapun atau bertemu siapapun.

Jika boleh, ia ingin diam mengunci diri di kamar asramanya saja. Tapi jika dia melakukan itu para manajer akan membombardirnya dengan pertanyaan yang memaksanya untuk menjelaskan apa yang terjadi. Sementara dia tidak mungkin menceritakan ini semua pada manajernya.

Saat itu Jeni benar-benar terlihat tak bersemangat. Seperti mayat hidup, ia berjalan menyusuri koridor kelas dengan langkah setengah diseret. Wajahnya muram. Pandangannya kosong.

Rose yang saat itu berada di samping Jeni, memandangi temannya itu dengan prihatin. "Gwaenchana?"

Jeni tidak menatap Rose. Ia hanya menunduk lalu mengangguk pelan.

"Apa mau kuteleponkan Sangwon eonnie? Biar eonnie mengantarmu pulang. Sebaiknya kau istirahat." Lisa yang saat itu juga berjalan bersama Jeni, ikut Khawatir.

Jeni menggeleng. "Tidak usah." Ia kemudian menyunggingkan senyum. Senyum terbaik yang bisa diberikan oleh seorang Kim Jeni yang saat ini sedang rapuh.

"Aku baik-baik saja." Ia mencoba meyakinkan kedua temannya itu. Meskipun ia juga tidak yakin dengan ucapannya sendiri. Semua orang di dunia ini tahu, bahkan orang bodoh pun juga tahu. Tidak akan ada orang yang baik-baik saja ketika ditinggal pergi oleh orang yang dicintainya.

*****

Pagi itu Jeni merasa dirinya sangat lemah. Sinar wajahnya memudar. Tatapannya seperti tatapan orang yang sedang putus asa. Ia hanya diam duduk termangu di bangkunya tanpa melakukan apa-apa. Suara berisik di sekitar yang berasal dari teman-temannya yang satu persatu mulai memasuki kelas tidak mengusiknya sedikitpun.

Jeni mendesis panjang lalu menumpuk kedua tangan di meja. Ia kemudian menelungkupkan wajah ke atas tangannya. Saat itu keningnya terasa berat sekali. Seperti ada beban yang membuat dirinya tak bisa lagi menegakkan kepala.

Akhir-akhir ini ia memang sering merasakan kepalanya yang tiba-tiba sakit. Kondisi ini membuatnya hanya bisa mengikuti latihan trainee tiga pertemuan saja pekan ini -yang seharusnya enam pertemuan satu pekan-. Selebihnya ia hanya mendekam di atas tempat tidur asramanya menjauh dari orang-orang. Dokter bilang tubuhnya tidak siap menghadapi beban yang lebih berat sejak dipersiapkan untuk debut. Ia kelelahan dan perlu istirahat. Tapi Jeni tahu bukan itu alasan sebenarnya ia menjadi pesakitan seperti ini. Ini semua karena laki-laki itu.

Sudah sepekan sejak berita penangkapan Juwon muncul. Kini kabar tersebut telah tersebar luas ke seluruh SMA Chungdam. Rasanya tidak ada satupun murid yang tidak mengetahui berita itu. Semua orang membicarakannya. Ada yang tidak percaya, ada juga yang mulai takut dengan Juwon. Tapi lebih banyak yang mencela, memaki, dan menghardik Juwon. Mereka tidak menyangka jika selama ini berada satu sekolah dengan seorang pembunuh.

Suara-suara sumbang tentang Juwon itu memang sudah berkeliaran beberapa hari terakhir. Keluar dari satu mulut ke mulut lain. Masuk ke telinga satu dan menyebar ke telinga lain. Termasuk telinga Jeni. Tapi Jeni tidak menanggapi itu. Atau memilih untuk tidak menanggapinya. Ia diam tanpa memutuskan apa-apa. Karena ia sendiri juga tidak tahu apa yang harus diperbuat. Pikirannya kosong, karena otaknya sudah tidak bisa berpikir dengan benar lagi. Iak tak bisa merasakan apapun, karena saraf di seluruh tubuhnya sudah berhenti bekerja.

Sepanjang hari itu Jeni tidak bisa berkonsentrasi pada pelajaran. Ia seperti orang linglung. Hanya bisa melamun di bangkunya sendiri.

Jeni mengangkat sebelah tangannya pada seorang guru yang sedang menjelaskan di depan. "Ssaem, saya ingin ke toilet sebentar."

Dua WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang