Inha Dan Dua Belas Rasi Bintang

844 120 50
                                    

Jeni tergelak mendengar apa yang baru saja diucapkan Juwon. "Kau seorang pembunuh? Kau memang sangat buruk dalam membuat lelucon." ledek Jeni di ujung tawa.

"Itu bukan lelucon. Aku serius." aku Juwon.

Jeni menatap lekat wajah Juwon setelah tawanya reda. "Hei, apa sekarang kau mau menceritakannya untukku?"

Jeni menggeser tubuhnya lebih dekat pada Juwon. Ia menaruh kepalanya di atas lengan laki-laki itu sebagai bantal. "Katakan semuanya. Segala hal tentang dirimu. Aku ingin tahu kau lebih banyak lagi."

Juwon memandangi Jeni yang bersandar di bahunya. Wajahnya terlihat gamang. Haruskah ia menuruti permintaan gadis itu dan mengatakan segalanya? Jika dia melakukannya apa semuanya bisa tetap seperti ini? Bisakah dia tetap berada sedekat ini dengan Jeni? Bisakah dia bicara dengan Jeni seperti ini? Atau semuanya akan berubah?

Jeni mengangkat kedua alis saat Juwon hanya menatapnya tanpa merespon. "Tenang saja aku tidak akan mengatakan kepada siapapun. Sekalipun kau memang seorang pembunuh aku tidak akan membocorkannya. Aku hanya ingin tahu kebenarannya, itu saja."

"Apa kau benar-benar ingin mengetahuinya?" tanya Juwon lirih.

Jeni mengangguk.

"Apa kau tidak akan menyesal?" tanya Juwon lagi.

Jeni menggeleng.

Juwon mengalihkan matanya ke plafon kamar. Ia menghirup udara lewat hidung kemudian mengeluarkannya lewat mulut secara pelan. "Apa kau ingat dengan pelajaran soal krisis ekonomi Asia yang dijelaskan Lee songsaenim tempo hari?"

Tanpa menunggu jawaban dari Jeni, Juwon melanjutkan kata-katanya. "Semuanya dimulai dari sana. Krisis keuangan itu menyebabkan keluargaku jatuh miskin. Bahkan setelah 5 tahun krisis berlalu ekonomi keluargaku tak kunjung membaik."

"Saat itu umurku masih 6 tahun. Aku terpaksa dititipkan ke panti asuhan oleh kedua orangtuaku. Panti itu cukup besar karena setiap tahun mendapat bantuan dana dari UNICEF. Di sana kebutuhan sehari-hariku terpenuhi. Mulai dari makan, pakaian, bahkan biaya pendidikan." tambah Juwon.

Juwon bergeming sesaat untuk mengatur napas lalu lanjut bercerita. "Semua baik-baik saja sampai pengurus panti meninggal dan digantikan oleh pengurus baru. Pengurus baru ini suka mabuk dan berjudi. Semua subsidi dari UNICEF yang diberikan melalui dinas sosial diambil untuk kesenangan pribadinya. Pihak UNICEF tidak mengetahuinya karena orang dari dinas sosial itu bersekongkol dengan pengurus panti."

Di samping Juwon, Jeni mendengarkan dengan saksama semua hal yang dikatakan laki-laki itu tanpa memotong.

"Karena uang diambil, jatah makan anak panti berkurang. Yang semula tiga kali sehari dengan kudapan menjadi dua kali tanpa kudapan. Tidak ada orang luar yang tahu kondisi ini karena dari luar semua terlihat baik-baik saja." lanjut Juwon.

"Sampai akhirnya dalam sebuah judi pengurus panti itu kalah jutaan won. Ia diburu penagih hutang. Ia dipaksa membayar uang judi itu. Tapi jumlahnya terlalu besar, ia tidak bisa membayarnya. Bahkan dengan memakai semua uang dari UNICEF-pun ia tetap tidak bisa melunasi hutangnya." terang Juwon.

"Akhirnya ia mengubah bagian belakang dapur panti menjadi pabrik pembuatan obat narkotika. Pemilik panti menjualnya ke pasar gelap. Setiap pagi sampai menjelang sekolah dan sepulang sekolah sampai tengah malam para anak panti dipaksa untuk membuat obat obatan itu. Jika tidak mau mereka akan disiksa. Tentu saja saat itu kami tidak tahu bahwa itu adalah narkotika. Pengurus panti menyebutnya sebagai bubuk permen." imbuh Juwon.

Juwon membuka selimut yang menutupi tubuhnya dan tubuh Jeni. Ia bangkit dari tempat tidur dan duduk di tepi kasur sambil menundukkan kepala. "Suatu hari ada seorang anak yang ingin memberontak. Ia sudah tidak tahan dengan perlakuan pengurus panti yang semena-mena. Ia ingin melawan. Tapi dengan mudah anak itu diatasi oleh pengurus panti. Pengurus panti itu menyiksanya tanpa ampun. Pernah suatu ketika dia memasukkan jarinya ke dalam anting yang dipakai oleh anak itu. Ia menarik anting itu dengan keras hinga telinganya robek. Ia berdarah dan menangis sekencang-kencangnya. Tapi pemilik panti tidak menggubrisnya. Ia memukuli tubuh anak itu, menendangnya, menginjaknya, dan meludahinya. Semua itu dia lakukan di depan anak-anak panti yang lain, termasuk diriku."

Dua WarnaМесто, где живут истории. Откройте их для себя