Firasat

980 106 35
                                    

Hembusan tenang angin pagi itu membangunkannya. Memaksanya untuk membuka kelopak mata meskipun terasa berat. Sebuah kain putih yang melambai ringan dari jendela adalah hal pertama yang ia lihat. Kain itu adalah kain tipis yang menutup jendela agar sinar matahari tidak langsung masuk ke kamar.

Ia berkedip beberapa kali ketika kini matanya telah terbuka sepenuhnya. Saat itu daun jendela dalam keadaan terbuka. Gorden berlapis-lapis yang menutup jendela itu telah tersingkap ke tepi tertata apik dengan ikatan simpul yang cantik. Tidak biasanya gorden jendela kamarnya terlihat rapi seperti itu. Pelayan tidak mungkin melakukannya. Karena ia tidak mengizinkan pelayan masuk ke kamar sebelum ia bangun.

Ia mengerjap. Benar juga, ia baru ingat. Ini bukan kamarnya. Ini adalah kamar dimana ia tidur dengan Jeni semalam. Apa mungkin gadis itu yang menata gordennya?

Juwon menoleh ke kasur di sampingnya. Tidak ada orang di sana. Saat itu ia hanya seorang diri di kamar. Juwon bangkit dengan tergopoh dari tempat tidur begitu menyadari gadis itu tidak ada. Ia buru- buru keluar kamar mencari Jeni. "Jeni? Kim Jeni?"

Suaranya terdengar resah. Ia memanggil nama gadis itu sambil terus mencarinya di seluruh ruangan lantai dua. "Ya! Kim Jeni?! Kau dimana?!"

Kini Juwon terlihat panik. Guratan rasa cemas mulai terbentuk di wajahnya saat ia tidak menemukan Jeni di manapun. Ia berjalan turun ke lantai satu sambil tetap memanggil nama gadis itu. "Kim Jeni?! Kau dimana?! Kim Je-"

Juwon menghentikan gerakan saat mendengar suara berisik dari arah dapur. Gemericik minyak yang mulai panas, desisan panci yang airnya mendidih, geprakan mata pisau yang beradu dengan talenan kayu, dan suara dua orang perempuan yang sedang berbincang hangat terdengar dari sana.

Juwon membuang napas lega begitu tahu Jeni sedang bersama ibunya di dapur. Ia melipat tangan ke depan dada. Ia menyandarkan sebelah bahu ke dinding lalu tersenyum tipis sambil mengamati dua orang itu yang terlihat sibuk memasak sesuatu.

"Tunggu eommonim! Jangan dimasukkan dulu!"

Jeni mencegah ibu Juwon yang saat itu akan memasukkan potongan paha ayam berbalut campuran tepung terigu dan tepung maizena ke dalam wajan.

"Kenapa?" tanya ibu Juwon bingung.

Jeni meletakkan telapak tangan kanannya beberapa senti di atas minyak yang mulai panas di wajan. "Suhu yang bagus untuk menggoreng ayam adalah 160-170 derajat. Jika terlalu rendah nanti dagingnya jadi kering. Jika terlalu tinggi, nanti bagian luarnya akan matang tapi bagian dalamnya masih mentah. Jika masih mentah jadi tidak aman dikonsumsi karena ada resiko bakteri salmonella di dalamnya."

"Oh begitu? Eommonim baru tahu itu. Ternyata ada patokan suhunya?" kata ibu Juwon.

Jeni kembali meletakkan tangan di atas minyak. "Nah, sekarang baru bisa dimasukkan."

Ibu Juwon memasukkan potongan ayam tersebut satu per satu ke dalam wajan. Suara riuh gemericik minyak goreng yang bersentuhan dengan daging ayam itu langsung terdengar mengisi dapur.

"Kim Jeni, sepertinya kau tahu banyak soal memasak." lontar ibu Juwon.

"Saya sering membaca tabloid kuliner, eommonim." aku Jeni sembari memotong jamur matsusake, bawang bombai, dan cabai merah besar secara bergantian di atas tatakan kayu.

Ibu Juwon mengganguk. Ia kemudian menoleh ke belakang saat menyadari ada Juwon yang entah sejak kapan berdiri memperhatikan mereka berdua di sana. "Akhirnya kau bangun juga."

"Apa kau tidak malu selalu bangun yang paling akhir di rumah ini?" sindir ibu Juwon pada putranya itu.

"Kenapa harus malu?" sahut Juwon dengan enteng.

Dua WarnaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora