Bagian 38

209 26 0
                                    

Selamat membaca
***

Luna membuka matanya perlahan. Melihat sekelilingnya serius. Luna sadar bahwa sekarang ia berada di rumah sakit.

"Kamu udah sadar sayang?" suara tak asing membuat Luna menoleh serius pada asal suara. Melihat Mama Fandu muncul membawa dua toples kecil di tangannya.

"Tante?" Luna terbata. Ia tidak percaya bahwa mama Fandu masih berada di sini sekarang. Wanita itu kini tersenyum samar, mendekat dan menyentuh keningnya buat Luna terdiam membeku.

"Syukurlah. Jauh lebih baik dari tadi malam." Katanya masih tersenyum samar melihat Luna kini tidak tahu harus bagaimana. Ia juga merasakan hal yang sama. Ia merasa sedikit membaik.

"Sebentar ya. Tante periksa dulu." Katanya jelas pada Luna yang kini masih diam. Ia tidak menemukan siapapun di dalam ruangan itu selain wanita ini.
Ia mencoba menyentuh kening Luna. Mencoba memeriksa kembali keadaan gadis kecil itu.

"Sudah. Alhamdulillah membaik." Katanya tersenyum menyentuh kepala Luna dan mengusapnya pelan. Luna merasa dadanya hangat. Tapi matanya perih, ia merasa sedih sekaligus.

"Makasih Tan. Tante di sini?" tanyanya bingung saat wanita itu meraih piring nasi miliknya yang berada di atas meja.

"Iya. Om sama Tante di sini. Makan dulu yah. Biar energinya bertambah. Nggak cukup kalau infus saja. Kata Bik Ida Luna belum makan dari tadi malam." Katanya jelas membuat Luna diam. Rasanya ia ingin menangis saja, dadanya terasa sangat sesak, bulir air mata mengalir buat Luna menyeka cepat, bagaimana bisa orang asing lebih peduli padanya daripada orangtua sendiri. Seperti ini, di mana Papanya, di mana Mamanya?. Luna tidak tahu kenapa hidupnya begitu rumit. Umurnya masih belasan tahun tapi ia sudah merasa lelah dengan semua ini.
Ia mengalihkan pandangan pada selimut tebal yang menyelimuti tubuhnya. Ia tidak ingin wanita ini melihat dirinya hancur seperti ini, walaupun sudah tahu juga. Toh, ia rasa Mama Fandu sudah tahu dengan keluarga dirinya yang kacau itu. Mereka sudah saling mengenal papanya. Mungkin lebih tahu dari dirinya sendiri.

"Makasih Tante. Aku bisa sendiri Nggak mau repotin tante." Katanya mencoba tersenyum samar. Ia tidak ingin terlihat semakin menyedihkan walaupun dadanya terasa hancur sekali.

"Tadi bibik Tante suruh pulang. Pekerjaan dia menunggu di rumah. Biar Luna sama Tante aja. Kebetulan tante juga lagi masuk" katanya tersenyum melihat Luna kini meraih piring itu dari tangannya. Mama Fandu tak menolak permintaan Luna. Terlihat gadis itu kini mencoba meraih sendoknya. Ia sedikit gemetar. Dan ia tahu bahwa Luna masih belum begitu kuat.

"Biar Tante saja. Kamu belum kuat. Makan aja yah." katanya lagi. Luna tak bisa menolak, rasanya sangat aneh. Bagaimana bisa ia bertemu Mama Fandu dengan keadaan kacau seperti ini.
Melihat Jihan terlihat meraih sendok itu dan mulai menyuapi Luna yang kini terpaksa menerimanya.

"Makasih Tan." Luna menarik ingusnya. Mencoba memakannya sambil terus melihat wanita itu.
Mama Fandu sontak tersenyum samar.

"Sudah. Jangan makasih terus. Luna nggak alergi makanan, kan? Tadi Tante cek. Beberapa obat Luna tidak bisa." Katanya jelas. Luna menggeleng sembari melihat ke arah piring itu. Hanya sop ayam dengan wortel dan kentang saja.

"Besok-besok kalo masih merasa mau demam, nggak kuat, bilang tante cepat yah. Biar nggak drop kayak gini. Biat tante obatin. Terus kalau ada masalah Luna cerita saja sama Tante. Biar tante dengarin. Kalau Tante nggak di rumah, berarti Tante di sini, kalau nggak di vila. Telpon aja Tante, biar ketemu. Soalnya suka sepi di rumah, sejak Fandu pergi. Tante jadi kesepian. Kak Dio sama kak Ari juga jarang pulang." Jelasnya manyun. Luna mendengar itu sontak mengangguk kecil. Ia tak mengerti tetapi ia merasa sedikit membaik. Tetap sama, berbicara dengan wanita ini membuat ia merasa nyaman. Sama seperti mamanya. Hatinya sedikit terobati.

Yes or No (Completed)Where stories live. Discover now