Bagian 20 ( Ternyata?)

337 31 0
                                    


***
Selamat Membaca

***

Luna berdiri mematung disamping Yuli dan papanya sambil memegang erat boneka pemberian Fandu padanya.

Ia sungguh tak percaya dengan apa yang baru dilihatnya. Rumah yang cukup tidak asing dimatanya.

Rumah Lika.

Luna tidak habis pikir. Alli yang selama ini papanya bilang ternyata Alika. Bagaimana bisa sekarang ia berada di rumah orang itu.

Seorang wanita paruh baya membuka pintu. Raut muka dan senyum bahagia ke arah Luna. Luna tahu orang itu istri papanya.

"Eh Aluna udah nyampe. Ayo masuk sayang." ucapnya ramah sambil menarik tangan Luna masih tersenyum. Luna menatapnya tak berkedip. Mau tak mau ia harus menyalimi wanita itu. Ia tak mau buruk dimata semua orang. Walau hatinya memberontak dan marah. Bisa jadi ia akan mengatakan kalau orang itu sudah merebut sebagian kebahagiaan hidupnya.

"Malam Yuli. Ayo masuk. Jangan bengong aja." Bunda Alika beralih pandang pada Yuli yang ikutan bingung melihatnya.

"Ayo Yah. Ajak keduanya." Bunda Alika meraih tangan Luna dan menarik nya masuk.

"Kamar Luna diatas. Dekat kamar Alika yah. Trus Yuli dilantai bawah. Bik Antar Yuli ke kamarnya." ucapnya kearah Pembantunya yang kebetulan juga berada disana.

"Ayo bunda antar." tawarnya sambil menarik koper Luna dan membawanya ke atas. Mau tak mau Luna terpaksa ikut. Berjalan lurus tanpa ekspresi. Ia sedang memikirkan untuk memanggil wanita yang seusia ibunya itu dengan sebutan apa. Tante? Ia rasa lebih cocok. Tapi tidak mungkin, bisa saja papanya akan memarahinya. Lalu? Mama? Luna rasanya sungguh tak sanggup memanggilnya dengan sebutan itu.

"Lun? Kok bingung. Ini kamar kamu." bunda Alika membuka pintu kamar itu dan menyuruh Luna masuk

"Ayo masuk. Mandi dulu. Nanti biar bunda bawain makanan kesini." ucapnya tersenyum. Masuk lebih dulu dari Luna yang kini mengekor dibelakangnya. Ikut Masuk kedalam kamar berukuran sedikit lebih besar dari kamarnya itu. Bernuansa pink. Dan ada beberapa boneka tergeletak di atas tempat tidur berukuran king size itu.

"Gimana? Luna suka?" tanya nya tersenyum.
Luna hanya mengangguk lemah. Masih tanpa ekspresi.

"Ruangan itu khusus buat belajar Luna. Bunda rancang khusus. Kata papa Luna suka dan pinter belajar." ucapnya tersenyum menunjuk ke salah satu pintu yang di cat sama. Berwarna pink juga.

"Ya sudah. Mandi dulu gih. Bunda mau siapin makan dulu." ucapnya tersenyum.

"Lika juga entah kemana. Padahal tadi udah bunda suruh cepat pulang." Bunda Lika menyerocos tak jelas sambil keluar dari ruangan itu. Luna menarik napas berat dan menghembuskan perlahan. Ia menghempaskan bokongnya diatas tempat tidur. Memegang kepalanya yang terasa cukup berat. Takdirnya memang lucu.
Ia harus tinggal satu rumah dengan orang-orang yang dibencinya. Lika yang merebut Irwan dan bundanya yang merebut papanya. Luna tersenyum sinis. Lalu menggeleng heran. Kenapa bisa. Takdir mempermainkan dirinya seperti ini.

Luna kembali menoleh kiri kanannya serius. Kamar itu cukup nyaman dan ia rasa cukuo bisa menenangkan dirinya. Matanya tertuju pada jendela kamarnya. Luna berdiri. Beranjak kesana. Dan membukanya. Angin malam menerpa wajahnya. Luna sontak memejamkan matanya dan menarik napas berat dan menghembuskan perlahan. Cukup menenangkan suasana hatinya saat ini. Syukurlah.

Drrrttt...

Suara pintu kamar Luna terbuka. Tanpa ketukan tentu saja sontak Luna menoleh melihat Yuli masuk membawa napan berisi nasi berserta laut dan air putih.

"Mbak gimana kamarnya? Nyaman?" tanya Luna beralih pandang. Berjalan cepat kearah Yuli. Yuli mengangguk ragu.

"Nyaman Lun. Luna gimana? Maka dulu yah." ucapnya tersenyum. Kamar dirinya bukan hal yang penting sekarang. Yang penting adalah suasana hati Luna. Ia tahu Gadis itu pasti kaget dan marah. Hanya saja Yuli tak tahu kalau Lika juga punya masalah dengannya. Luna mengangguk sedikit meraih nasi itu dan dan membawanya duduk diatas lantai.

"Mbak. Aku mau ketemu mama. Aku butuh penjelasan mama." Luna melahap nasi itu dengan cepat. Mulutnya sesak penuh nasi. Ia memasakan agar ia tetap makan dan tentu tak boleh sakit. Toh. Ia harus kuat.

"Libur minggu depan kita kesana." balas Yuli lambat.

"Emang mama nggak bakal balik lagi kesini?" tanya Luna lagi.

"Iya. Soalnya mama udah di kejar sama rentenir gitu. Jadi kalau kita tinggal dirumah lama. Otomatis rentenir minta uang ke kita. Dan pilihan papa juga mbak rasa tepat. Walaupun mbak tahu Luna nggak suka." jelasnya Yuli membuat Luna mengangguk sedikit.
Itu benar sekali.

"Aku kecewa sama mama, mbak. Aku pengen banget dekat sama mama biar kayak dulu lagi. Tapi apa?" Luna memutar mutar sendoknya. Kebiasaannya kembali terulang.

"Aku malah makin jauh sama dia." ucapnya sedih. Yuli kini ikut diam. Ia sendiri tidak tahu harus berkata apa. Melihat Luna kini tampak sedih.

"Udah habisin. Dikit lagi loh." Bunda Lika masuk tanpa mengetuk lebih dulu membawa susu dan beberapa potong buah masuk. Sontak membuat Luna dan Yuli menoleh.

"Bunda ada kerjaan malam ini. Jadi dirumah dulu yah." ucapnya serius. Luna mengangguk sedikit. Lagi dan lagi. Hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang.

"Yul. Jangan lupa temanin Luna dulu. Bunda pamit." ucapnya serius.
Yuli mengangguk sedikit. Ia pikir Bunda Lika juga tak buruk. Tapi tetap saja telah merebut kebahagiaan Luna.

***
Luna memicingkan matanya perlahan. Mengumpulkan semua ingatannya tadi malam. Kamar yang sudah berubah dan ia mendapati Lika sedang berdiri di depan jendela kamarnya. Cewek itu memperhatikan sesuatu.

"Hey. Pagi." sapa Lika se olah menyadari kalau Luna bangun.

"Tadi pintu kamar lo nggak di kunci. Jadi gue masuk aja." ucapnya tersenyum berjalan mendekat. Lali mengambil duduk disisi tempat tidur Luna.

Luna menatap gadis itu bingung. Lalu menoleh ke jam di dinding kamarnya.

Pukul setengah enam. Luna bangkit dari tidurnya. Memperbaiki rambutnya yang berantakan.

"Lo tahu gue anak dari papa lo?" tanyanya tanpa basa basi melihat Reaksi Lika yang biasa saja. Seolah tahu apa yang terjadi. Lika mengangguk sedikit.

"Sudah lama sekali. Ayah. Eh papa udah kasih tahu gue soal lo. Jadi nggak heran lagi. Dia selalu cerita lo ke gue. Tiap saat. Kadang bikin gue iri." ucapnya tersenyum samar. Alis Luna terangkat. Ia melipat kakinya. Duduk bersimpuh, dan melihat Lika tak biasa.

"Dan welcome dirumah kita. Semoga lo betah. Gue lebih tua dari lo sih. Jadi kalau panggil kakak ke gue juga nggak masalah." ucapnya tersenyum. Luna hanya mengangguk sedikit.

"Mandi gih. Sekolah. Gue tunggu sarapan dibawa." ucapnya berdiri. Beranjak ke arah pintu kamar Luna.

"Oh iya. Lo udah kasih tahu Fandu tinggal disini?" tanya Lika menghentikan langkahnya. Menoleh Luna serius. Luna menggeleng.
Ia pikir tidak penting

"Nggak penting juga. Dan nggak perlu lo kasih tahu juga." balasnya datar. Lika mengangguk sedikit dan beranjak pergi meninggalkan Luna yang kini kembali ingat Fandu yang sama sekali tidak mengabarinya itu.

"Mungkin dia mau menghabiskan waktunya sama keluarganya."

Batin Luna. Mencoba menenangkan dirinya.

***

See you next time.

Yes or No (Completed)Where stories live. Discover now