Bagian 14 (Mengaku Jujur)

356 33 5
                                    

Selamat Membaca
***

Luna mengaduk-aduk Mocha latte di depannya. Sesekali menoleh ke ponselnya. Fandu yang sedari tadi melihatnya heran. Ia tahu pasti Luna ada masalah jika gadis ini seperti ini. Selalu melamun dan tak bersemangat. Apa mungkin karena ucapan Selly tadi pagi.

"Oh iya Lun. Soal Selly lo nggak usah khawatir. Gue udah jelasin ke dia kok. Kalo kita enggak ada apa-apa." jelasnya Fandu sontak membuat Luna menoleh serius. Ia menghentikan kebiasaannya.

"Syukurlah. Gue enggak mau dia salah paham." balasnya Luna tersenyum samar, ia lega mendengarnya. Fandu malah menatapnya serius.

"Segitunya lo sukanya." balasnya kesal. Luna mengangguk mantap.

"Yah." balasnya singkat sedikit tersenyum.

"Ntar masalah gue tambah banyak,"

"Belum masalah Mama yang nggak pulang pulang. Masalah Papa dan gue pusing." balasnya jengkel.

"Mama lo ke mana?" tanya Fandu heran. Luna menoleh serius. Ia menggeleng lambat.

"Gue enggak tahu. Dan dia juga belum pulang sejak tiga hari yang lalu. Dan nomornya juga enggak aktif. Gue khawatir banget." balasnya lirih. Fandu diam sejenak. Jadi karena Mamanya.

"Lo nggak punya nomor temannya atau teman kerjanya, mungkin?" balasnya Fandu menggusulkan. Luna menoleh serius. Fandu ada benarnya. Toh, kenapa ia tak kepikiran sama sekali.

"Lo bener Fan. Besok gue coba tanya mereka. Gue pernah tahu beberapa teman kerja Mama." balasnya serius. Fandu tersenyum sedikit. Berharap semoga bisa membantu Luna atas usulannya. Yah, semoga saja.

***

Ragu. Luna berdiri mematung di depan rumah Irwan. Atas usulan Yuli ia terpaksa datang ke rumah ini. Mencoba menekan bel untuk kedua kalinya. Dan pintu rumah terbuka. Irwan muncul, ia menatap Luna dengan tatapan aneh.

"Luna?" cowok itu sedikit terkejut akan kedatangan Luna kali ini. walaupun bukan sekali ini saja dia ke sini. Dulu juga sempat menemani Mamanya mengambil beberapa pesanan kue.

"Mama lo ada?" tanyanya cepat. Alis Irwan terangkat.

"Masuk dulu gih." ajaknya membuka pintu lebar-lebar. Mengajak Luna untuk segera masuk ke rumahnya itu. Luna menggeleng cepat.

"Mama lo ada, gue mau ketemu dia." balasnya serius. Sedikit mengabaikan ucapan Irwan.

"Mama... Hmm. Pagi-pagi tadi udah pergi kantor. Kenapa?" tanyanya serius.

"Gue bisa minta nomornya." tambah Luna mengeluarkan ponselnya dari dalam sakunya dan menyodorkan ke arah Irwan. Irwan mengangguk. Terpaksa meraihnya dan mencatat nomor Mamanya di sana. Setelahnya, ia menyodorkan lagi ponsel itu pada Luna.

"Makasih Wan. Gue pamit." balasnya cepat. Beranjak pergi membuat Irwan menatapnya kesal. Gadis ini selalu menghindarinya. Bahkan sering tak mendengarkan ucapannya. Irwan menarik napas berat dan menghembuskan perlahan. Ia Berjalan cepat, menyusul Luna. Tangannya meraih tangan Luna. Sontak saja Luna kaget dan menghentikan langkahnya.

"Sebentar. Lo kenapa, sih? Jauhin gue segitunya. Lo benci banget yah, sama gue?" jelasnya membuat alis Luna terangkat. Ia menatap Irwan bingung. Luna melepaskan pegangan Irwan padanya perlahan.

"Enggak, Wan. Maaf."

"Biasa Aja. Dan gue enggak benci juga kok sama lo." balasnya tersenyum samar. Toh, ia tidak benci hanya saja ia sedikit kesal.

"Terus kenapa lo jauhin gue. Emang kita enggak bisa kayak dulu lagi." balasnya serius. Luna tersenyum lagi. Kayak dulu lagi seperti apa yang dimaksud Irwan padanya.

"Gue cuma nggak mau Lika salah sangka sama gue. Lo sama dia udah cocok kok. Gue pergi." balasnya serius. Luna benar-benar tak ingin memperpanjang masalah ini.

"Gue sama Lika enggak ada hubungan apa-apa. Dan apa lo jauhin gue karena dia? Lo tahu kan gue sama dia udah temanan sama dia sejak SMP. Dan lagian dia juga suka banget sama teman lo itu. Si Fandu. Dia cuma jadiin gue pelarian." jelasnya serius. Luna Menatap Irwan serius. Luna cukup kaget dengan pengakuan itu. Tapi itu bukan urusannya lagi.

"Maaf yah Wan. Itu urusan lo sama dia. Oh iya makasih sama kado dan kue lo. Gue pergi." balasnya cepat. Dan hendak beranjak pergi.

"Lun. Gue belum selesai ngomong, jangan bilang lo?" Irwan menghentikan ucapannya. Alis Luna terangkat.

"Lo juga suka sama Fandu." jelasnya sontak membuat Luna menghentikan langkahnya. Menoleh kembali. Matanya membulat. Ia bingung untuk menjawab apa. Tapi Irwan cukup membuat ia muak dan kesal. Luna diam beberapa detik dan ia tersenyum samar.

"Maaf yah Wan. Kalau iya kenapa sama lo. Mau gue suka mau enggak. Enggak ada lagi hubungan sama lo. Lagian Fandu juga baik banget sama gue. Gue juga sama dia udah kenal lama, sama kayak lo kenal sama Lika. Terus dia juga sudah lima kali bilang suka sama gue. Apa gue jelasin lebih rinci lagi kalau gue emang juga suka sama dia" mata Irwan membulat. Alisnya terangkat. Ia benar-benar tak menyangka akan jawaban Luna padanya.

"Siapa sih, Wan? Yang nggak kesal sama orang kayak lo. Lo nembak gue. Tapi seenak jidat lo jalan sama cewek lain di depan mata gue. Karena lo lihat gue super suka banget sama lo. Sampai lo yakin gue enggak bakal apa-apa dan nggak bakal ninggalin lo. Gue juga manusia Wan. Punya hati. Dan mulai sekarang. Nggak usah gangguin gue. Kasih gue kado atau sejenisnya lagi. Gue capek. Dan makasih banyak atas semuanya." jelasnya membuat Irwan terdiam membeku. Luna beranjak pergi dengan langkah cepat. Dadanya terasa sesak. Matanya terasa panas.

Ucapan itu sudah lama hendak keluar dan selalu tertahan. Luna masuk ke motornya dan memacunya cepat. Dan menghentikan tepat di jalan sunyi.

"Sial banget." gerutunya kesal menyeka air matanya yang mengalir deras. Dan menangis sejadi-jadinya. Menangis untuk terakhir kalinya untuk lelaki brengsek seperti Irwan. Sekuat apapun Luna mengatakan kalau ia tidak menyukai cowok itu lagi. Ia selalu gagal. Dan selalu saja ia kesal melihat Irwan bersama gadis itu. Merasa sudah sedikit baik. Luna kembali masuk ke motornya. Baru hendak menghidupkannya. Satu telepon masuk ke ponselnya. Telpon dari Yuli membuat Luna menaikan alisnya. Dengan cepat Luna menjawabnya.

"Hallo Lun. Mama udah pulang, nih?" ucapnya sontak membuat Luna tersenyum lega.

"Oke Bik. Aku bakal pulang. Mama baik aja, kan?" balasnya serius.

"Baik. Nih bawa hadiah banyak banget buat kita." balas Yuli sontak membuat Luna manyun.

"Oke Mbak. Aku tutup." balasnya cepat. Kembali memasang motornya cepat.

Ia sudah tidak sabar untuk bertemu Mamanya lagi.

***

Luna menatap lima paper bag di depannya dengan tatapan kesal. Lalu beralih melihat Mamanya yang kini tersenyum padanya seperti tidak ada masalah.

"Maaf yah. Mama hilang dan bikin kamu khawatir. Pas Mama di Bogor. Eh tiba-tiba ada teman Mama yang ngajakin ke Eropa. Yah jelas aja Mama nggak nolak. Walau Mama ingat kamu ulang tahun." jelasnya tersenyum. Luna merasa tak terima dengan alasan super konyol itu. Bagaimana pun ia khawatir.

"Trus kenapa Mama enggak nelpon. Aku sama Mbak Yuli sampai cariin Mama tau. Kita khawatir banget. Mama ngerti nggak, sih?" jelas Luna kesal.

"Eh itu iya. Mana mungkin Mama nelpon kamu sama Yuli dari luar Negeri. Beli kartu di sana. Buang uang. Mending buat beli hadiah buat kamu. "

"Sekarang ganti baju. Kita makan-makan. Yuli jangan lupa pakai baju tadi." ucapnya ke arah Yuli yang langsung mengangguk.

"Aku males dan aku masih kesal sama Mama." balasnya dongkol.

"Makan makan dong rayain ultah kamu. Walaupun telat." balasnya tersenyum.

"Enggak usah. Kapan-kapan aja." balas Luna jengkel. Beranjak pergi masuk ke kamarnya dan menguncinya. Mood Luna benar-benar berantakan. Kalau tahu Mamanya sudah mau pulang. Ia tidak perlu ke rumah Irwan dan malah bikin ia mengaku apa yang terjadi. Benar-benar sial, bukan?.

***

Yes or No (Completed)Where stories live. Discover now