42 - Yang Teristimewa

101K 11.3K 2.6K
                                    

"Hai, maaf ya telat, tadi lumayan macet. Biasalah hari Sabtu."

Andina mendudukkan dirinya di meja yang sama dengan Risa, Dela, dan Nadine. Mereka memang janji bertemu di Raa Cha untuk reuni kecil-kecilan setelah Andina lagi-lagi terpaksa lembur di akhir pekan.

Seringai merekah di wajahnya melihat bayi lelaki yang Risa bawa. "Haai, ini namanya siapa?" Andina menyentuh tangan mungil anak itu.

"Namanya Mika, Onty," jawab Risa, seolah mewakili anaknya.

"Mika ganteng banget." Ia mengusap kepalanya dengan lembut.

"Din, mending lo ambil makanan dulu. Biar bisa makan bareng kita," usul Nadine.

Andina mengangguk. "Iya."

Ia beranjak dari sana untuk mengambil beberapa makanan yang ia suka. Setelah membayar makanan di kasir, Andina kembali kepada mereka bertiga.

"Doain ya lamaran gue lancar," ujar Dela seraya memanggang daging. "Dua minggu lagi, nih."

"Akhirnya lo dapat orang mana, Del?" tanya Risa.

"Orang Padang."

"Wah, lo cepat-cepat belajar bikin rendang yang hitam banget, tuh," sahut Andina.

"Padang cuma label, Din. Dia lahir di Jakarta."

"Gimana rasanya bakal jadi bini orang?" Nadine menyikutnya. "Ninggalin gue sendiri yang masih demen single."

"Wah, petuahnya banyak banget. Enggak cuma dari mami aja, tapi dari saudara jauh yang enggak gue kenal-kenal amat juga ikutan ngasih nasihat." Dela menggeleng pelan, memakan daging yang sudah matang. "Emang pas udah halal, benaran seribet itu ya, Din, Sa?"

"Ya, biasa aja, sih. Pastinya ada beberapa kebiasaan baik dan buruk dia yang gue baru tahu sekarang. Tapi coba maklumin aja. Apalagi gue sama Fadil udah kenal lama, berasa hidup sama teman."

"Kalo Hario orangnya kalem banget. Gue harus pintar-pintar baca ekspresi muka dia. Kadang kalo gue lagi ngapain terus dia enggak ngomong apa-apa, rupanya dia enggak suka. Sedangkan gue straight-forward banget." Risa berdecak. "Astaghfirullah, jadi buka aib gini, kan?" Ia menepuk mulutnya berkali-kali.

"Terus lo repot banget enggak waktu Mika baru lahir?" tanya Dela.

"Bukan main. Mau merasa sesiap apapun lo punya anak, tetap feel-nya beda pas udah ngerasain langsung. Udah harus ngurus anak, ngurus suami pula. Untung gue enggak kerja. Jadi tiap suami gue pulang, ada yang ngelayanin. Mika juga enggak bakal gue tinggal-tinggal."

"Nah, iya, tuh. Gue selalu kepikiran kalo gue punya anak nanti, anak gue bakal ditinggal kerja mulu." Dela menimpali, sedikit memajukan tubuhnya karena tertarik dengan topik ini. "Apalagi kalo suami gue pulang dan gue belum ada di rumah. Kan rasanya agak gimana gitu. Masa suami pulang enggak ada istrinya?"

"Lo mah mending, Del, freelancer," sahut Nadine. "Begitu project selesai, lo bebas mau ambil project selanjutnya atau enggak. Gue nih yang jadi budak kapitalis gimana? Mana kadang gue bawa kerjaan ke rumah buat seleksi naskah. Kasihan suami gue nanti enggak ada yang ngurus."

"Kalo punya anak, lo bisa pakai pompa ASI, Nad. Tapi ya tetap sih, gue lebih suka ASI langsung biar sekalian bonding sama Mika. Apalagi Mika sekarang udah mulai makan. Gue harus nyusun menu setiap hari buat Mika." Risa membenarkan baju Mika yang berantakan di stroller. "Dan enggak tahu ya, tapi gue merasa seandainya gue dulu lanjut kerja, bakalan repot banget sekarang."

"Benar, sih. Sepupu gue aja sampai disuruh berhenti kerja soalnya kelimpungan ngurus dua anak." Dela melahap makanannya lagi. "Kasihan juga kalo orang tua harus dititipin. Malah ngerepotin jatuhnya."

Garis SinggungWhere stories live. Discover now