32. I'm Stuck With You

99.6K 14K 11.1K
                                    

2020

"Oh... my... God..." Nadine tak dapat menyembunyikan ketakjubannya mengetahui Fadil menjadi teman sekamar Andina. Ia tak kalah kagetnya dengan mereka berdua.

Andina langsung menutup tirai itu lagi lantaran shock, tak mengacuhkan tangan Fadil yang sudah menggantung di udara demi memberikannya tisu. Ia menatap tak terarah dengan jantung yang berdebar-debar.

Jarak antara Jakarta dan Surabaya mencapai lebih dari 750 kilometer. Kenapa ia harus bertemu dengan Fadil di Bandung? Kota Bandung memiliki luas lebih dari 167 kilometer persegi. Kenapa ia harus bertemu Fadil di rumah sakit ini? Dan rumah sakit ini memiliki puluhan ruang rawat inap dengan bermacam-macam tingkatan kelas. Kenapa ia harus satu ruangan dengan Fadil?

Terkadang Andina tak mengerti, apa jangan-jangan Fadil membuntutinya? Apa lelaki itu menyadap ponselnya agar tahu keberadaannya? Kenapa bisa ia bertemu dengannya lagi?

Dan pula, apa yang terjadi dengannya? Tadi ia lihat tangannya dibalut oleh gips, kakinya diperban, dan pipi kiri lelaki itu tampak luka. Apa ia mengalami kecelakaan seperti Rafa?

"Din," Nadine menyentuh tangan temannya itu dengan raut wajah yang masih horor. "Kok bisa ada Fadil?" tanyanya dengan nada berbisik.

"Mana gue tahu." Andina berkata pelan, sama bingungnya dengan Nadine.

"Kan yang tadi siang gue bilang jodoh sama lo Si Rafa, bukan Fadil."

"Enggak tahu, pusing gue, ah." Andina membenamkan wajahnya pada selimut. Jantungnya masih berdentum kencang yang membuatnya cemas tanpa alasan. Kehadiran Fadil semakin membuat kepalanya berdenyut.

Ponsel Nadine berdering saat itu, mengalihkan perhatiannya sejenak dari kejadian yang mencengangkan. Ia segera mengangkatnya begitu melihat caller ID temannya di layar.

"Halo? Kenapa, Rin?" sahutnya, sedikit menjauhkan diri agar tak mengganggu Andina. "Astaghfirullah! Anjir, gue lupa banget! Videonya udah gue rapihin waktu itu, tapi lupa gue upload Youtube gara-gara Mama telepon suruh jenguk kakek. Duh, mana gue lagi di rumah sakit, laptop ada di kos."

Andina menurunkan selimutnya, melihat temannya itu uring-uringan berjalan mondar-mandir sambil mendengarkan lawan bicara.

"Hari ini udah harus ngumpulin link, kan? Iya, iya, sekarang gue kirim sebelum deadline jam delapan malam. Tunggu bentar ya, sumpah, ini gue mau pulang."

Nadine memutus sambungan teleponnya. Ia cepat-cepat membereskan barangnya yang ada di nakas samping ranjang Andina.

"Andina, gue minta maaf banget, hari ini kayaknya enggak bisa temanin lo nginap. Soalnya gue harus kirim link tugas video ke dosen. Laptopnya ada di kos."

Andina membelalak. Ia meraih tangan Nadine agar gadis itu tak pergi. "Lo mau ninggalin gue..." Matanya melirik ke kiri di mana Fadil berada. "... sama Fadil?!" tanyanya dengan nada berbisik.

"Ya... gimana? Nanti nilai kelompok gue nol kalo enggak ngumpulin. Lagian kalo lo enggak ada acara pingsan, gue pasti udah di kos sekarang."

Andina mengembuskan napas panjang sekaligus memasang raut wajah memelas. Sekali lagi, ia benar-benar menyesal tak menuruti perkataan ibunya. Sekarang urusan menjadi panjang semenjak ia jatuh pingsan seturunnya dari mobil.

"Harus sekarang banget?" tanyanya lagi, berharap ada secercah harapan ia tak harus ditinggal berdua dengan Fadil.

"Maaf banget ya, Din..." Nadine sekali lagi meminta maaf, merasa tak enak hati meninggalkan temannya yang sedang sakit. "Besok gue balik lagi. Gue ikut kelas online Google Meet dari handphone aja di sini. Janji."

Garis SinggungМесто, где живут истории. Откройте их для себя