24. Siapkah Jatuh Cinta Lagi?

79.2K 11.9K 1.7K
                                    

2016

"Pa, bawa masker jangan lupa."

"Enggak usah, Ma. Pengap." Ayah Andina berkata seraya terbatuk. Ia mengambil sepatu bot proyeknya dari rak sepatu.

"Udah minum obat dokternya belum? Pake jaket jangan lupa. Masuk angin jadinya batuk terus tuh."

"Udah kok udah."

Saat itu Andina turun dari kamar dengan membawa buku. Ia mengambil air minum di dapur, kemudian berjalan ke ruang depan menghampiri ibunya.

"Papa mau ke mana?" tanyanya seraya menenggak air minumnya.

"Ke proyek. Papa kan lagi ada proyek pembuatan jalan. Hari ini jadwalnya ngecor."

"Oh..."

Andina melangkah maju untuk mencium tangan ayahnya ketika pria itu hendak berangkat. Ayah Andina yang sudah siap memakai helm mulai menyalakan mesin motor. Setelah berpamitan, ia keluar dari area rumah dan melaju menuju lapangan proyek.

"Kamu udah belajar? Besok hari terakhir kamu UAS, kan?" tanya Ibu Andina seraya menutup pintu.

"Ini lagi belajar." Gadis itu menunjukkan buku yang ia bawa. Ia menaruh gelasnya di meja ruang tamu dan mendudukkan dirinya di sofa.

"Papa sama Mama udah ngewanti-wanti kamu, ya. Jangan sampai nilai rapornya jeblok kayak waktu kelas sepuluh. Kamu enggak mau kan kalo sampai enggak naik kelas?" Ibu Andina ikut mendudukkan dirinya di sofa berseberangan dari anaknya.

"Iya... iya..." Andina mengangguk saja mengiyakan ucapan ibunya. Ia kembali membaca-baca buku catatan Sejarahnya.

Keadaan hening menyelimuti mereka. Andina sibuk membaca buku pelajarannya, sementara ibunya asyik sendiri melihat-lihat chat yang masuk di Whatsapp. Namun keheningan itu tak berlangsung lama ketika ibunya berseru heboh mendapatkan informasi baru dari grup Whatsapp.

"Ya Allah, Din, lihat deh!"

Andina menurunkan bukunya ke pangkuannya. Ibunya mengulurkan ponsel kepadanya untuk menunjukkan sebuah foto wanita muda yang tak ia kenali.

"Ini anaknya Pak RT, habis nikah dia jadi pakai jilbab, yang syar'i pula!" serunya heboh. "Padahal kan waktu masih perawan rambutnya dimerah-merahin udah kayak kebakaran. Tiap malam ada aja teman-temannya dateng, nongkrong-nongkrong enggak jelas depan rumah."

"Terus kenapa?" Gadis itu mengernyit karena ia tak kenal dengan anak Pak RT yang ibunya bahas.

"Ya enggak apa-apa. Baguslah, suaminya bisa nuntun ke jalan yang benar."

"Kirain apa, Ma." Andina memutar kedua matanya. Ia mengubah posisi duduknya menjadi berbaring di sofa.

"Tuh, Din. Kamu kalo nanti cari jodoh, cari yang bisa nuntun kamu ke jalan yang benar. Yang bisa buat kamu jadi lebih baik lagi." Ibu Andina memulai ceramahnya. "Respect juga sama orang tua. Kalo dia orangnya sayang banget sama orang tua, udah pasti dia juga bakal sayang sama Mama dan Papa."

"Hm."

"Lebih bagus lagi kalo dia dukung kegiatan dan karier kamu. Papa sama nenek kamu dulu enggak pernah nyuruh Mama keluar kerja, walaupun kerja di bank suka pulang malam. Mama pernah pengin bolos kerja karena waktu kamu kecil, kamu nangis terus kalo malam. Eh, malah dimarahin sama Papa. Enggak boleh bolos katanya. Akhirnya Papa yang rela bangun malam buat ngurus kamu kalo masih hari kerja."

"Hm." Dari nada suaranya, ia mulai tak tertarik dengan topik yang dibicarakan ibunya.

"Kamu juga nanti harus dukung karier dia, mengerti pekerjaan dia. Suami kamu nanti kerja keras ya buat kamu dan keluarga juga. Lihat tuh Papa, langit udah gelap begini masih harus berangkat ke proyek. Apalagi ngecor jalanan enggak bisa berhenti di tengah jalan. Mungkin bisa sampai tengah malam Papa di proyek hari ini."

Garis SinggungWhere stories live. Discover now