33. Mengagumimu dari Jauh

96.5K 13K 7K
                                    

2020

Fadil sibuk berkutat dengan laporannya. Hari ini ia libur dan sedang berada di sebuah restoran cepat saji untuk menumpang wifi dengan tetap mengikuti aturan protokol kesehatan. Napas berat ia embuskan. Jika saja lulus kuliah dan menghasilkan uang semudah membalikkan telapak tangan, maka ia tak perlu berstres ria dengan tugas-tugasnya.

Lelaki itu meraih minumannya. Ia sedang meneguknya dengan damai ketika seseorang tiba-tiba saja menepuknya dari belakang.

"SYAITONIRROJIM!" Fadil terbatuk-batuk. "Siapa sih iseng aja?!"

Ia berbalik, bersiap untuk memaki orang itu, tapi urung dilakukan ketika menemukan seorang gadis tengah tertegun melihatnya. Setengah wajahnya tertutup oleh masker sehingga butuh beberapa waktu untuknya mengenali perempuan itu.

"Fadil?!"

Suara yang tak asing itu membuat Fadil terbelalak. "Debby?!"

What the... lelaki itu sampai berdiri dari duduknya. Fadil sangat bingung kenapa banyak sekali orang yang ia temui di Bandung.

"Lo kuliah di Bandung juga?!" tanya Debby.

Debby tak sengaja melihat sosok Fadil ketika baru memasuki restoran. Karena begitu yakin yang ia lihat adalah Fadil, ia tak segan untuk menyapa duluan.

"Enggak. Lagi magang doang di Bandung. Lo kenapa di sini?"

"Gue kuliah di sini."

"Oh, ya?" Kedua alis Fadil berjengit.

"Gila ya, bisa-bisanya kita ketemu di sini. Lo apa kabar?" Debby mendudukkan dirinya di bangku berseberangan darinya sebelum Fadil duduk kembali. "Magang di mana emang? Muka lo kenapa?!"

Mata Debby menangkap bekas luka yang muncul dari balik masker Fadil.

Fadil kembali duduk. "Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Biasanya gue di bagian fabrikasi besi. Karena sistemnya rolling, akhirnya gue dapat bagian quality control di lapangan. Eh, di sana gue malah jatuh ke galian. Antara gue yang ceroboh atau orang sana lupa ngasih tanda. Langsung pada heboh pas gue jatuh. Untung gue ditolongin, bukan ditimbun sama tanah lagi."

"Ya ampun." Debby tertawa mendengar ceritanya. "Lain kali hati-hati."

"Bahkan tangan gue juga sempat retak. Ini aja masih sakit." Fadil menyentuh tangan kirinya yang kini sudah bebas dari gips. Di proyek, ia juga belum bisa bekerja lama-lama karena pinggangnya nyeri jika terus berdiri. "Kalo lo ambil jurusan apa sekarang? Enggak ada kegiatan apapun?"

"Gue akhirnya pilih manajemen. SBMPTN enggak keterima teknik kimia, ya udahlah, jadi males. Magang juga, tapi online. Kurang seru sih."

"Oh." Fadil mengangguk. "Mau jadi the next Nadiem, ya? Asik, calon-calon orang kaya, nih."

"Ye, lo aja lebih kaya!" Debby tertawa. "Omong-omong, gue boleh duduk di sini? Ada yang marah enggak?"

"Boleh aja. Siapa yang marah? Enggak ada," jawab Fadil polos. "Lo juga udah duduk, kan?"

Debby menyeringai senang atas jawaban itu. Ia meletakkan tasnya di atas meja.

"Lo enggak mau pesan makanan?" tanya Fadil.

"Belum. Sebenarnya sih tadi gue cuma mau take away. Tapi gara-gara lihat teman di sini, malah enggak jadi pulang." Ia bertopang dagu memandangi Fadil. "Selama di Bandung udah ke mana aja, Dil?"

"Enggak ke mana-mana. Kerja aja tiap hari ngikutin supervisor lapangan."

"Pantesan lo agak gelapan, sih." Debby menatap kulit tangan Fadil yang tampak lebih gelap semenjak ia terakhir melihatnya. "Udah ke Dago?"

Garis SinggungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang