4. Yang Berdebar

114K 16.3K 3.6K
                                    

2012

"Mobil jemputan mogok?!" Suara Andina meninggi lantaran terkejut akan penuturan Risa.

"Iya," Risa yang baru datang sedikit terlambat, menurunkan bangkunya dari atas meja. Ia melepaskan ranselnya dan menaruhnya di bangku. "Akhirnya gue, Indy, sama Martin bela-belain naik angkot dari pada telat. Kayanya nanti pas pulang juga belum bisa dipake, deh. Orang ngepul banget tadi asepnya dari mesin."

"Yaah..." Andina mengernyit kecewa. "Terus nanti gue pulang gimana, dong?" Seperti yang diketahui, Andina ikut mobil jemputan hanya untuk pulang sekolah karena setiap pagi ia diantar oleh ayahnya yang sekaligus berangkat kerja menuju proyek. Ia tidak mengerti bagaimana naik angkot menuju daerah rumahnya, jika naik ojek dipastikan harganya sangat mahal.

"Tenang, lo naik yang ke arah Bekasi, kan? Bareng sama Martin aja. Sebenarnya, sih, tadi gue udah bilang dia supaya jaga-jaga pulang bareng lo. Lo kan enggak ngerti naik angkot. Nanti kalo lo sampe digondol orang, emak lo BBM gue lagi."

Mendengar hal itu, Andina mengembuskan napas lega. Baguslah, ia tak perlu bingung lagi harus pulang bagaimana. Jalan pulangnya tak searah dengan Risa maupun Indy. Ia juga tak mungkin meminta jemput ayahnya. Ayahnya pasti masih sibuk meng-handle proyek di daerah Jakarta Selatan. Selain itu, ia juga tidak punya handphone untuk meneleponnya. Jika benar-benar urgent, mungkin ia akan meminjam handphone satpam sekolah saja.

"Lo enggak mau main ke rumah gue aja? Sekalian nunggu sore sampe bapak lo pulang?" tanya Nadine.

"Enggak bisa. Gue belom izin. Lo tau, kan, emak gue protektifnya kaya apa? Kalo tau gue main enggak ngomong-ngomong, bisa disusul kali gue detik itu juga dari kantornya."

"Yaudah, nanti bareng Martin aja." Risa berujar, yang direspons dengan anggukan oleh Andina. "Oh, iya, lo pada udah siapin bahan buat latihan Tata Busana besok?"

"Udah. Gue akhirnya beli kain warna kuning aja," sahut Dela.

"Gue enggak dapet benang merah pula," Risa menggaruk kepalanya. "Padahal niatnya gue mau make benang merah, hitam, sama biru biar nyambung. Lo ada yang punya warna merah?"

"Gue juga pake benang merah. Besok barengan aja." Andina menyahut. Risa mengangguk semangat sebagai tanggapan.

Besok adalah jadwal mata pelajaran Tata Busana di mana mereka diharuskan membawa kain dan tiga macam benang warna berbeda. Bagi laki-laki, mungkin ini mata pelajaran yang menyebalkan, tetapi bagi Andina... ah tidak, sama saja. Ia juga tidak suka Tata Busana.

Senggolan pada sikunya membuat Andina menoleh pada Nadine. "Din," panggilnya. "Paduka Bigbol dateng, noh."

Andina menoleh cepat ke arah pintu kelas. Benar saja, terlihat Fadil baru datang dengan terburu-buru. Ia juga agak terlambat seperti Risa. Seraya berjalan ke tempat duduk, lelaki itu menangkap Andina sedang menatapnya. Gadis itu cepat-cepat mengalihkan wajahnya ke arah lain.

"Udah sana, balik ke singgasana," bisik Nadine. "Pepet, mumpung masih pagi, masih ganteng dianya."

"Apaan, sih." Andina tersenyum malu. Meski begitu, ia mengikuti bujukan Nadine untuk kembali ke tempat duduknya walaupun teman sebangkunya, Dela, masih asyik mengobrol di meja Risa dan Nadine.

Melihat kepergian Andina, Nadine mencolek dua temannya yang lain. "Eh, liat temen lo." Telunjuknya terarah diam-diam pada gadis itu.

"Subjek mendekati target," ucap Risa seraya menatap temannya itu dengan mata menyipit.

Andina tampak berjalan perlahan menuju bangkunya. Ia duduk di tempatnya yang sering disebutnya sebagai singgasana jika sedang bersama Risa, Dela, dan Nadine. Hal itu karena tempat duduknya terletak berdampingan dengan bangku Fadil. Bibirnya menyembunyikan senyum, matanya diam-diam melirik kepada Fadil yang sedang membereskan isi tasnya di sebelahnya.

Garis SinggungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang