38. Kutunggu Setiap Minggu

109K 12.6K 5.1K
                                    

"Sebenarnya sih Fadil bilang nanti-nanti aja, tapi besok dia udah terbang ke Kalimantan. Jadi saya ajak aja sekarang. Kapan lagi bisa kenal sama keluarganya Andina, ya?"

Ibu Fadil tersenyum manis pada Andina, yang duduk bersebelahan dengan ibunya sendiri. Saat ini Fadil dan orang tuanya sedang berada di rumah Andina. Fadil sudah lama berjanji untuk membawa orang tuanya berkenalan dengan keluarga Andina.

Sebenarnya ia tak mau terburu-buru, tetapi ibunya justru jauh lebih semangat dibanding dirinya untuk mengenal Andina lebih jauh. Sebegitu senangnya wanita itu karena Fadil akhirnya terbebas dari Debby.

"Wah, mamanya lebih semangat dari pada Fadil," sahut Tante Dinar sambil tertawa.

"Padahal Fadil lagi kurang sehat gini, ya? Tapi harus terbang ke luar kota sebentar lagi." Ibu Andina mengusap pundak Fadil yang duduk berdekatan dengannya. Suara lelaki itu memang terdengar lebih berat dan cenderung serak hari ini sehingga lebih banyak diam. "Jadi enggak pernah main ke sini lagi deh Fadil nanti."

Ibu Fadil mengangguk. "Begadang mulu kerja di depan laptop akhir-akhir ini. Mana makannya yang pedas mulu. Makanya sekarang jadi sakit. Bukannya jaga kesehatan sebentar lagi mau berangkat."

"Andinanya siap LDR?" tanya ayah Fadil. "Kalo enggak ya enggak apa-apa sih, Papa punya banyak kenalan yang anak cowoknya masih single."

"Oh, enggak bisa, Pa! Enggak bisa!" Alih-alih Fadil yang protes, ibu Fadil lah yang langsung menyergah suaminya. "Fadil ireng-ireng begini, enggak ada yang ngalahin lagi. Enak aja."

Protes ibu Fadil itu mendapat gelak tawa dari ibu, om, beserta tante Andina, juga seringai kemenangan dari Fadil karena mendapat pembelaan ibunya. Ibu Fadil tak mau Fadil sampai mencari pacar lain yang macam-macam lagi.

"Yaa, kali aja Andina bosan kelamaan nunggu sampai Fadil pulang." Ayah Fadil tersenyum jail seraya menyesap tehnya.

"Fadil fokus kerja aja dulu, nanti kita ngomongin yang lebih lanjutnya gampang setelah pulang." Om Mukhsin menepuk-nepuk punggungnya akrab. "Andina pasti mau nungguin."

Fadil hanya bisa menyeringai atas penuturan para orang tua itu. Ia melirik Andina yang duduk berseberangan darinya, sedang menyeringai menatapnya juga.

"Mbak, makanannya udah siap belum?" Ibu Andina bertanya pada pembantu hariannya yang sedang menaruh piring di ruang makan.

"Udah, Bu."

"Pak, Bu, mari silakan, seadanya," ibu Andina mempersilakan kedua orang tua Fadil untuk makan. "Fadil juga harus makan, ya? Biar pas berangkat udah sembuh."

"Iya nanti, Tante. Masih pahit mulutnya," jawab Fadil dengan suara yang antara ada dan tiada.

"'Mama'," ralatnya. "Andina aja manggil mama Fadil 'mama', masa Fadil manggilnya 'tante'?"

"Hayolo, dimarahin~" ibu Fadil mengompori.

Fadil menyeringai seraya mengangguk. "Iya nanti, Ma, maksudnya."

Lantaran ia masih tak bernafsu makan, Fadil tetap duduk di ruang tamu sementara kedua orang tuanya beranjak mengikuti ibu, om, beserta tante Andina ke ruang makan. Mulut Fadil terasa sangat pahit, kemarin ia bahkan hanya makan sekali.

Garis SinggungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang