152. Rindu Tak Sampai

Start from the beginning
                                    

"Jangan pergi..." Bayangan Naruto yang menarik tangannya malam itu kembali mengusiknya, betapa Naruto tak ingin dirinya berada jauh darinya, tapi hari ini..., hari ini Naruto sendirilah yang telah mengusirnya.

"Kau tidak salah apa-apa Hime... Akulah yang harusnya minta maaf padamu. Tak seharusnya kau menanggung dosa yang telah dilakukan klanmu..."  Setiap kalimat yang Naruto ucapkan malam itu terus berputar di otaknya, "Kenapa kau harus mengungkit lagi bahwa aku seorang Hyuuga yang sama dengan mereka... bukankah kau sudah merampas hakku sebagai Hyuuga, kau menjadikanku seorang Uzumaki... Mengapa Naruto-kun mengingatkan kembali bahwa aku bagian dari pembantai itu... hiks...."

Hinata jatuh terduduk, ia meremas dadanya yang terasa sakit, pengabaian Naruto menghujam benaknya, melukai hatinya, membuatnya tak ingin lagi melanjutkan hidup.

"Kumohon jangan menangis."  Hinata memegang pipinya yang dilinangi oleh air mata, tak ada lagi tepukan lembut dari tangan hangat itu untuk meredakan nestapanya, ia menelan semuanya sendiri, kalimat Naruto yang memohonnya untuk berhenti menangis, kini pria itu malah mengabaikan air matanya.

"Air mata ini..., aku bersumpah, air mata kesedihan ini tak akan pernah menetes lagi dari mutiaramu, Hime." Hinata tersenyum getir mengingat kalimat yang pernah diutarakan sang suami di tempat ini. "Pada kenyataannya membuatku menangis adalah bagian dari takdirmu... ini menyesakkan, tapi mengenang semua janjimu membuatku merasakan kehangatanmu, aku mencintaimu, sangat.... Naruto-kun... walau itu menyakitkanku..."

...

"Maafkan Hyuuga yang telah merampas semua kebahagiaanmu, Naruto-kun..., aku tahu maaf saja tak cukup untuk semua penderitaan yang kau alami. Aku sudah tahu semuanya. Aku sudah melihat semuanya dari mimpi yang disalurkan oleh Oba-san. Bahkan jika sekali lagi kau membuatku menderita itu tak akan cukup untuk membayar apa yang telah ayahku lakukan pada keluargamu..."

Tangan sewarna madu itu melempar kuasnya kasar, otaknya dipenuhi dengan kalimat-kalimat yang Hinata ucapkan di Kawaguchiko kala itu. "Khe... kau pendusta... pada kenyataannya menikahi dan mencintaimu tak akan mengubah kenyataan bahwa kau tetaplah seorang Hyuuga..."

'Aku bisa menerimamu dalam hidupku Hime, karena kau hadir dalam hidupku ketika semua orang berniat menghabisiku. Tapi aku tak akan pernah membiarkan orang-orang yang mengincar kekuasaanku lepas begitu saja. Kebahagiaan kita ini akan hancur berkeping-keping saat kekuasaanku lepas. Aku pernah merasakan itu Hime, kebahagiaan keluargaku di rampas oleh para penguasa. Dan saat aku menjadi penguasa tak akan ku biarkan siapapun merenggut kebahagiaan kita.... Biarlah kau mengerti arti kehilangan, hidup berjauhan denganku dan Boruto akan membuatmu mengerti alasanku selama ini melindungimu...'

...

"Maaf Konohamaru..." Shizune berujar lirih, ia baru saja keluar dari kamar Konohamaru dan Hanabi.

Raut gelisah itu semakin tersirat dari wajah samurai muda itu. "Katakan Shizune Sensei?" Ia menggenggam erat tangan tabib itu, namun hanya senyuman getir yang menghiasi wajah istri Kakashi itu.

"Aku tak bisa menyelamatkan anakmu... dan...., rahim Hanabi rusak akibat injakan kaki kuda itu..... Shinto Ryu tak akan pernah memiliki penerus lagi..."

Konohamaru mundur beberapa langkah, tatapan kosong. Hanya dalam beberapa detik harapannya telah musnah.

Tanpa para pahlawan itu sadari, bahwa kini kutukan Konan perlahan mulai terwujud. Satu persatu kebahagiaan dari pahlawan itu direnggun paksa...

Fox And FlowerWhere stories live. Discover now