25. You Were Beautiful🍁

1.2K 183 9
                                    

You Were Beautiful : Day6
_________

“Masukkan semua pengkhianat ke dalam penjara dan tangkap seluruh keluarga mereka, lakukan eksekusi saat seluruh keluarga mereka sudah berkumpul.”

Banyak sanggahan yang keluar begitu titah dari raja baru Lokapala di lontarkan. Dari mereka bahkan terang-terangan memalingkan muka dan enggan menatapnya. Tanpa mendengarkan komentar dari pejabat istana, Andaru melangkahkan kaki keluar Balairung istana.

Mahkota besar dengan selendang sutra bertaburkan emas membungkus tubuh tegap Andaru, raja Lokapala. Matanya hanya menatap lurus didepan tanpa memperdulikan sekitar yang menunduk saat dilewatinya. Wajahnya dingin tanpa ekspresi dengan tangan menggenggam pedang.

Kakinya melangkah menuju keraton kulon, setelah memasuki bilik dilepasnya mahkota dan pedang. Andaru menjatuhkan tubuhnya ke dipan dengan keras, matanya perlahan memejam. Begini rasanya menjadi raja ya? Enak memang tapi banyak tidak enaknya.

“Bagaimana hari ini?”

Pria itu bahkan tidak menyadari kehadiran Rukma yang sudah duduk di sebelahnya, Andaru membuka mata saat lengannya di pijat perlahan.

“Seperti biasa.”

Rukma mengangguk, dia memanggil seorang dayang untuk memberikan secangkir teh herbal untuk Andaru. Setelah meminumnya Andaru kembali terpejam, bedanya dia menarik Rukma untuk berbaring disebelahnya. Rukma bersemu, lengan kokoh Andaru menjadi bantalnya. Sesekali Andaru mencium kening Rukma, di usapnya surai hitam panjang milik wanita itu.

“Sepertinya sudah waktunya.”

“A-apa?” entah mengapa berada dalam jarak sedekat ini dengan Andaru membuatnya sangat gugup.

“Memikirkan penerus Lokapala, aku ingin putra mahkota.”

Suara serak Andaru membuat bulu kuduk Rukma meremang, bahkan dia harus memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan dalam dari Andaru. Pipi Rukma memerah, dia berusaha bangkit dari tempat tidur namun Andaru sudah lebih dulu menahan pinggangnya.

“Bagaimana hm? Kau ingin putra atau putri?“ Senyum nakal Andaru terbit, “atau keduanya?”

***

“Kenapa kau malah berada disini?”

Laras memutar tubuhnya untuk menatap wajah Adisena dengan jelas. Dia tak habis pikir dengan pria di depannya ini, kenapa dia malah meninggalkan tahta untuk kembali menjadi pemimpin Arang Geni?

“Entah, aku terlanjur menyukainya."

“Dasar bodoh! Benar-benar pria yang sangat bodoh!”

Adisena tersenyum sangat manis, mungkin ini pertama kalinya bagi Laras mendapat senyuman dari sosok Adisena. Yang dimaksud Adisena adalah padepokan ini, bukan Laras tapi kenapa malah dia yang bersemu? Laras bahkan bergerak tak karuan ditempatnya, rasanya dia senang sekali.

“Apa? Apa yang kau sukai?” tanya Laras menantang manik hitam Adisena.

Adisena mendekatkan wajahnya, bahkan mereka bisa merasakan napas masing-masing saat ini.

“Kenapa? Jangan bilang, kalau kau mengira itu dirimu?” Goda Adisena dengan bibir berkedut.

Laras memundurkan langkahnya, dia membelakangi Andaru, “Hahaha!” Laras tertawa sumbang, “Apa maksudmu? Sudahlah, mereka sudah menunggumu.”

Laras berjalan cepat, sesekali menggeleng untuk mengusir pikiran sesaat yang membuatnya terlalu percaya diri tadi. Tidak seharusnya Laras bersikap bodoh seperti tadi, Adisena tidak mungkin menyukainya, kasta mereka terlalu jauh.

***

"Kapan kau mulai menyukai ku?"

Tangan Rukma terulur untuk menyentuh wajah Andaru, jemarinya menelusuri setiap jengkalnya. Andaru kenapa semanis ini? Lihat matanya yang tidak terlalu besar, hidungnya dan bibir tipisnya. Semuanya sempurna. Rukma tersenyum menyadari keberuntungannya selama ini, rindunya sudah terpenuhi.

"Yang terpenting, aku menyukaimu lebih dulu."

"Memangnya kau tahu aku menyukaimu sejak kapan?" Rukma mengernyit.

"Memangnya sejak kapan?"

"Hmm? Sejak kita menikah? Apa sejak kita di gubuk tengah hutan itu ya? Ah tidak-tidak! Jangan marah, aku menyukaimu sejak pertama melihatmu!"
Rukma segera meralat perkataannya saat melihat senyum Andaru pudar perlahan.

"Benar dugaanku," Andaru mengangguk mantap, membuat Rukma diliputi khawatir.

"Apa?"

"Aku menyukaimu lebih dulu. Kau ingat saat kau jatuh ke sungai? Aku melihatmu dari kejauhan, aku sudah penasaran dengan mu saat itu. Astaga wajah mbok Ngatiyah benar-benar takut, dia sangat mengkhawatirkan mu."

Mereka tertawa, melihat wajah mbok Ngatiyah yang berteriak ketakutan sungguh menyenangkan. Setelah hening beberapa saat, Andaru memulai lagi 'rencananya'.

"Kau ingin putra atau putri?" Tanya Andaru mengalihkan topik.

"Katanya merawat seorang putri jauh lebih menguntungkan dari putra."

"Kalau begitu, kita harus mulai lagi."

"Apanya?"

"Tadi itu aku membuat seorang putra, jika kau ingin putri kita harus membuatnya lagi."

"Setan!"

***

Laras terus menggeser tubuhnya saat Adisena terus menggesek lengannya dengan lengan kokoh Adisena. Laras bahkan mengusap tengkuknya yang mulai berkeringat. Bila terus begini, kapan mereka selesai memandikan kuda ini?

"Kau mundur sedikit."

"Jika aku mundur bagaimana aku menggosok kuda ku ini?"

Laras bergeser ke kanan,"jangan mengikuti ku!" Tegurnya.

"Apa yang kau pikirkan? Jika aku tidak bergeser aku akan terus menggosok bagian ini, sampai beruban pun belum selesai juga."

"Kenapa sekarang kau cerewet sekali?"

"Lalu, apa urusanmu, apa aku merugikanmu? Apa aku meminta uangmu, tidak kan?"

Tingkah Adisena malah semakin aneh, dari tadi selalu mengikuti kemana langkah Laras pergi. Seperti sekarang, keduanya duduk di pawon, dengan Laras yang sibuk meracik makanan dan Adisena yang merecoki.

"Kenapa kau disini?" Tanyanya saat Adisena duduk di sampingnya.

"Aku suka memasak."

"Benarkah? Tapi kenapa kau membakar habis ikan yang sudah ku bumbui?"

"Suka memasak bukan berarti bisa memasak."

Laras lupa jika sedang berbicara dengan pria ini, pintar sekali soal membalikkan kata. Laras pikir Adisena hanya bercanda atau sekedar menggodanya, tapi saat melihat Adisena yang terbatuk-batuk saat meniup tungku api dan dia masih duduk disana, membuat Laras tersenyum.

Sebenarnya apa mau Adisena? Kenapa berubah menjadi Adisena yang tidak pernah dikenalnya?

Bulan, bukan berarti Laras tidak suka, Laras hanya perlu waktu untuk menyesuaikan diri dengannya. Rasanya dia tidak bisa bergerak bebas seperti dulu karena Adisena selalu mengamatinya, dulu Laras bisa karena pria itu acuh padanya.

"Api nya marah padaku, dia tidak mau menyala walau ku tiup berkali-kali."

"Kau yang tidak bisa!"

Laras menggeser tubuh Adisena untuk mengisi ruang didepan tungku, baru ditiup sekali dan api itu kembali menyala.

"Butuh keahlian untuk memasak, kau pikir mudah apa?"

*****

Tuh kan mereka ketemu di bab ini, eaaaaa mesemnya ditahan dulu deh.

Mlm" gini apdet ada yg baca ga si, Muk apdate besok takut lupa hehe.

Hv a nice dream, readers ku. Moga abis baca ini tidurnya nyenyak wkwkwk

Turn Back Time Where stories live. Discover now