15. Mago🍁

1.4K 211 2
                                    

Mago : GFriend
_______

"Jadi karena aku ibu meninggal?"

Arum mengangguk, mereka tengah duduk di jalan setapak. Sebenarnya padepokan sudah terlihat dari sini, tapi suasana seperti ini tidak layak di perlihatkan ke semua orang.

"Sudahlah ndara, lagian kejadian itu sudah sangat lama berlalu. Sebenarnya Prabu Kayuwangi bukan tidak menyayangi ndara, hanya saja saat ingin menghabiskan waktu dengan ndara ada banyak pasang mata yang mengawasi."

"Prameswari Utari," geram Rukma. Setelah mendengar tentang pemberontakan sang Prameswari itu, Rukma menjadi sangat membencinya.

"Kita harus menemukan Rama secepatnya."

"Tapi ndara, pengasingan itu sulit untuk dijangkau dari sini. Perlu waktu beberapa hari untuk sampai ke sana."

Rukma menimang lagi, "Dimana pengasingan itu?"

"Pulau Siladen."

Siladen? Ini pertama kalinya ia mendengar nama itu. Rasanya asing, berarti tempat itu sangat jauh terbukti dari perbedaan pulau mereka saat ini.

Mereka memutuskan untuk tidak membahas masalah itu lagi dan segera mencapai puncak bukit, matahari sudah mulai turun. Ada tanah lapang di atas bukit ditengahnya terdapat padepokan dengan Pesanggrahan utama yang menyambut kedatangan mereka.

Tempatnya terlihat tak berpenghuni terbukti dengan dedaunan yang menutupi lantai Pesanggrahan. Mereka berjalan lebih dalam, menyusuri Pesanggrahan hingga sampai pada gapura besar dengan para prajurit berjajar rapi.

Mereka mengangkat panahnya begitu mengetahui ada dua orang wanita yang berusaha masuk di daerah kekuasaannya. Rukma seketika teringat dengan keris berlambang melati, dia mengangkatnya dan mengayunkan keris itu di atas kepala.

Seorang pria yang tampak seperti Jendral memberi instruksi kepada bawahannya dari atas gapura. Tak lama kemudian, prajurit yang berada paling depan mendekati Rukma dan memeriksa keris yang ada ditangan wanita itu.

Setelah memastikan keaslian keris itu, sang prajurit mengangguk kepada jendral. Tak lama gerbang pun dibuka, mereka menunduk patuh saat Rukma melewatinya.

"Mereka aneh sekali, tadi saja hampir membunuh kita. Tapi lihat sekarang, mereka sangat tunduk."

Arum mengiyakan perkataan tuannya.

Mereka di arahkan menuju joglo kecil di pusat bangunan. Joglo itu di kelilingi bangunan-bangunan besar dari kayu sengon. Di belakang joglo terdapat tanah lapang untuk berlatih senjata.

Prajurit tadi membukakan pintu rumah joglo tersebut dan mempersilahkan mereka masuk. Disana tidak ada siapapun dan mereka diminta untuk menunggu.

"Rum, ini dimana sebenarnya?" Bisik Rukma. Ini pertama kali menginjakkan kaki di tempat asing, maklum saja dia kebingungan.

"Kurang tahu ndara, saya kan rakyat Medang. Saya juga tidak banyak tahu tempat di Lokapala, apalagi padepokan rahasia seperti ini."

"Hawanya tidak enak, kau mencium bau dupa dan menyan?"

Arum mengangguk, "Jangan keras-keras ndara, nanti penunggunya marah kalau dengar," bisiknya sangat pelan. Tidak boleh menyinggung sang penunggu suatu tempat, itu adalah pesan ibunya.

Kicauan burung dan serangga malam terdengar riuh, sudah lebih dari satu jam mereka menunggu di joglo ini. Tak berselang lama, pintu mahoni itu pun berderit saat seseorang mendorongnya. Senyum Rukma tak bisa berhenti mengembang kala Andaru lah yang berdiri di sana.

Turn Back Time Where stories live. Discover now