17. Roar 🍁

1.3K 189 13
                                    

Roar : Katty Perry
______

Saat terbangun Rukma menemukan dirinya terikat di dalam gubuk tua, suara jangkrik dan burung malam menambah pusing kepalanya. Dengan kepala berdenyut nyeri namun tangannya tak bisa memijit pelipis untuk mengurangi rasa sakit.
Seakan baru tersadar Rukma meronta, Arum membutuhkannya, dimana gadis itu sekarang?

Gubuk kecil dengan obor di setiap penjuru, pintunya sedikit terbuka hingga udara yang dingin masuk dengan leluasa. Bulu kuduknya berdiri kedinginan, matanya memerah karena tangis. Tak pernah ia sangka kematian Arum begitu tragis.

Rasanya seluruh tubuhnya sakit bahkan bernapas pun terasa sesak, berulang kali dia tersedak air liurnya karena menangis.

Buana datang dengan cambuk ditangannya, benarkah dia suami dari kakaknya? Kenapa dia sekarang terlihat seperti iblis?

"Kau lihat pelayanmu tadi? Siapa namanya?"

"Dimana Arum?!"

"Ya, Arum." Buana berjalan mendekat, "aku meninggalkannya di tengah hutan, dia sangat menyusahkan." Dia mencebik, membuat Rukma ingin merobek mulut sialan itu.

"Setan kau! Biadab!" Teriak Rukma frustasi, tangannya ingin sekali mencakar wajah Buana.

"Hahaha." Buana meletakkan cambuknya di tanah, dia berjongkok di depan Rukma. Di cengkeramnya tulang pipi Rukma. Bagaimana bisa wanita ini banyak bicara, ya dia akui Rukma memang cantik, lebih dari istrinya. Tapi hasrat membunuhnya lebih besar dari apapun saat ini.

"Maaf telah mengecewakanmu adik ipar."

Rukma menggelengkan kepalanya, berharap cengkraman Buana terlepas namun semakin kuat Rukma meronta semakin kencang Buana menekan pipinya.

"Kau tidak ingin tahu kabar kakakmu?"

"Jangan berani-berani menyentuh keluarga ku!" Mata Rukma berkilat. Kenapa bisa ada manusia berhati binatang di dimensi ini? Pikiran Rukma bercabang. Bagaimana Andaru? Keluarganya? Kakaknya?

"Kenapa? Memang apa yang akan kau lakukan jika aku melakukannya? Menyelamatkan pelayanmu saja kau tak bisa apalagi mereka?"

"Kau berurusan dengan orang yang salah Buana!" Rukma mengucapkannya dengan suara bergetar, dia marah juga sedih di saat bersamaan.

"Aku takut sekali!" Ejeknya. Sayangnya dia tidak punya waktu untuk bermain-main dengan Rukma. Dia harus segera menyelesaikan tugasnya dan kembali ke Medang secepat mungkin.

***

Setelah fajar terbit Rukma dibawa paksa dengan kereta kencana, bedanya sekarang matanya tertutup. Perutnya mual, dia tidak bisa melihat apapun dan berkata apapun. Yang Rukma tahu jalannya sangat terjal, beberapa kali keretanya akan terguncang dan kudanya berhenti tiba-tiba. Sebenarnya dia akan dikemanakan?

Rukma tanpa sadar tertidur, dia dibangunkan dan di seret turun dari kereta kencana. Kakinya tertatih karena tidak melihat apapun, yang dia rasakan seperti menaiki perahu. Angin juga bertiup kencang seperti berada di laut.

YA ALLAH TOLONG HAMBAMU INI.

Bagaimana jika ia diperkosa? Terus setelah puas dilemparkan ke kandang buaya? Tapi sebelum itu dimutilasi terlebih dahulu? Rukma menggeleng, tenang saja. Ada Andaru, dia percaya Andaru.

Butuh beberapa waktu hingga Rukma di turunkan ke tepi pantai. Kakinya memijak butir pasir basah saat berdiri, ikat di matanya pun dilepas. Matanya buram karena terlalu lama tertutup, baru setelah berkedip kesekian kalinya dia bisa melihat dengan jelas.

Tangannya masih terikat tapi perahu tadi sudah berlayar menjauh, dia ditinggalkan sendirian di tempat ini. Tempat sepi seperti tak pernah terjamah manusia. Rukma beberapa kali memanggil mereka, meminta untuk membawa Rukma kembali.

"Buana! Hey sialan!"

Kalau begini, kan, kebar-barannya keluar. Tubuhnya remuk redam. Memang ya zaman ini berbeda sekali. Coba saja dimasa depan, mana berani. Dia akan langsung laporkan ke Komnas HAM! Emansipasi wanita! Oh iya, ibu kita Kartini saja belum dilahirkan saat ini. Jadinya ya belum ada emansipasi. Wanita masih diperlakukan rendah.

"Gini banget hidup ya! Enak sekali saja susahnya berkali lipat! Mana sepi gini! Ya ampun nanti kalau ada tuyul gimana?!"

Rukma tidak tahu dimana dia sekarang, yang dilihatnya hanyalah hamparan biru samudera dan banyak pasir pantai. Rukma berjalan, mungkin jika dia beruntung akan menemukan sesosok manusia disini meski kemungkinannya sangat kecil.
Dia mulai memasuki hutan, matahari mulai beranjak tenggelam di laut. Perutnya mulai meronta, Buana bahkan tidak memberinya sebutir nasi. Hingga malam mulai bertahta, Rukma masih menemukan hutan dimatanya. Pulau ini seperti tak berpenghuni.

Cahaya obor di pohon besar memberikan Rukma harapan, tolong katakan jika ada pedesaan di pulau ini. Dia lebih takut setan kuntilanak daripada kelaparan.

Rukma duduk dibawah pohon jambu. Dengan menggunakan batu tajam, dia mencoba melepaskan kaitan tali ditangannya. Butuh waktu lama hingga terlepas. Dia bernapas lega setelah meregangkan tangannya yang kaku. Ruam yang mulai membiru dan darah yang mengering tercetak di pergelangan tangannya. Sakit.

Rukma menangis. Tidak pernah menyangka hidupnya akan berjalan sedemikian rupa. Dia tidak punya siapapun saat ini, hanya sendiri. Garis bawahi, dia sendirian di tengah pulau.

Entah berapa lama ia menangis dan baru berhenti saat lelah. Dia ingin segera terlelap, berharap jika ia bangun dia akan berada di tengah kamarnya. Menikmati omelan ibu yang selalu menyuruhnya untuk tidak berdiam diri dikamar. Ah, Ibu. Bukannya berhenti kini tangisnya malah menjadi, sosok ibu selalu menjadi sisi terlemah baginya.

Perutnya berbunyi dan rasanya semakin sakit. Rukma mendongak, mencegah air matanya yang menganak sungai.

"Ayo, Kirana! Kamu bisa!"

Rukma tersenyum menyemangati dirinya sendiri. Saat bangkit, lututnya lemas. Energinya sudah terkuras habis lagipula sejak kemarin perutnya belum terisi apapun. Dia harus bertahan, hanya dirinya yang bisa menyelamatkan hidupnya sendiri. Tidak ada waktu baginya untuk terus menangis dan menyalahkan keadaan.

Rukma mengangkat obor yang tadi ia temukan, percaya saja jika ada obor pasti disini juga ada kehidupan. Cahaya obor menerangi pohon jambu, untung saja banyak buah disana. Rukma tersenyum puas, setidaknya perut kecil ini tidak akan kelaparan.

Rukma melilitkan jaritnya yang sudah tidak berbentuk ke pinggang. Kini terekspos pula kakinya dari bawah tumit hingga lutut. Sudahlah, dia sedang tidak perduli tata krama sekarang. Makan, makan, makan. Demi makanan!

Setelah puas memanjat dan menikmati buah hasil jerih payahnya. Usahanya. Rukma duduk bersimpuh. Dengan jampi-jampi yang telah diturunkan dari Mbah buyutnya, Rukma terus berkomat-kamit.

Alisnya mengernyit kala membran matanya menangkap cahaya dari dalam kelopak mata. Benar, kan! Setelah membuka mata terlihat dua orang laki-laki yang mengarahkan cahaya obor di wajahnya.

Rukma tanpa sadar berteriak. Doanya berhasil! Rukma berhasil!

"Bukankah ini ndara Rukma?" Tanya pria yang memegang obor.

"Iya! Benar! Besok ku kasih piring cantik!"

*****

Happy reading guys! Ceritanya emang udah tamat sih, tapi komen dan votenya dong. Hihi, I love u guys!

Turn Back Time Where stories live. Discover now