22. Boom!🍁

1.2K 166 2
                                    

Boom : NCT Dream
_________

"Jangan sampai tertangkap."

Seorang pria berpakaian prajurit Lokapala itu mengangguk, dimasukkannya gulungan kertas itu ke sakunya. Sementara dia sudah memacu kuda meninggalkan pelataran, Antasena kembali ke istana melewati gerbang belakang.

Kalau dipikir-pikir situasi ini terlalu tenang untuk kerajaan ini, bagaimana tidak? Keempat pangeran beserta putra mahkota pergi meninggalkan istana untuk memberontak bukanlah perkara yang mudah diatasi, seharusnya Prabu Danaraja sudah bertindak untuk menangkap mereka tapi ini tidak. Bahkan kabar pemberontakan para pangeran tidak terdengar hingga ke luar gerbang istana, hebat kan?

Sebenarnya apa yang ada di kepala Ramanya itu? Di istana bahkan tidak ada pangeran lagi untuk meneruskan tahta kerajaan. Apa jangan-jangan ada dari mereka yang berstatus mata-mata dari Rama nya? Pasti ada yang dikirim untuk memantau pergerakan mereka, apa mungkin itu Adisena? Iya! Pasti Adisena! Diantara mereka hanya Adisena yang selalu datang dan pergi entah kemana.

Antasena segera menggeleng, bagaimana dia bisa berpikiran sesempit itu? Yang harus dia pikirkan adalah kenapa tidak satupun dari anggota kerajaan yang mengenali dirinya?

"Hei kau!"

Antasena menghentikan langkahnya, dia menoleh kebelakang dan menemukan kepala pakunjaran sedang memanggilnya. Baru pertama kali ada punggawa rendahan sepertinya yang memanggil Antasena begitu. Sebisa mungkin dia berusaha untuk tidak memenggal pria kurang ajar itu.
Alih-alih berteriak ataupun pergi, Antasena menghampirinya dengan kepala menunduk. Dia sedang dalam penyamaran bukan? Lagipula dia bukan lagi pangeran.

"Nggih?" Tanya Antasena sopan.

"Awasi para tahanan di bawah, aku harus pulang sebentar. Akan ada prajurit yang menggantikan mu besok pagi," ucapnya memerintah.

Ada hal yang dilupakan Antasena, benar saja tidak ada yang mengenalinya secara dia berada di daerah yang tidak pernah dikunjungi para anggota kerajaan, dia sama sekali tidak berinteraksi dengan mereka yang menyebabkan penyamarannya belum terbongkar.

"Baik ndara!" Eh, rasanya Antasena ingin menarik ucapannya lagi.

Antasena sudah terbiasa berjaga di pakunjaran tetapi lain cerita jika dia harus menjaga tahanan yang berada paling belakang dan gelap. Biasanya yang ada disana adalah orang yang mencoba mencelakai anggota kerajaan. Suasana yang menyeramkan karena hanya obor sebagai penerangan, ditambah hawa dingin karena tempat ini lebih mirip goa.

Antasena mengarahkan obornya ke masing-masing ruangan, melihat wajah mereka yang sudah tidak asing lagi. Beberapa dari mereka memberi salam setelah Antasena memperlihatkan keris dengan lambang melati di tangannya.

"Sudah lama kalian berada di sini." Adisena menjeda ucapannya, "Aku bisa mengeluarkan kalian dari sini sekaligus mengembalikan kehormatan dan keluarga kalian seperti dulu."

Mereka berteriak kegirangan dan menyebut namanya beberapa kali, Antasena tersenyum tipis. "Tapi ada harga yang harus kalian bayar."

***

"Ada pengkhianat diantara kita," ucap Andaru seraya menutup gulungan kertas yang dia terima dari Antasena.

Rasanya aneh jika hanya Dewandaru yang terkejut mendengar itu sementara Adisena dan Andaru bersikap biasa saja.

"Kenapa terkejut? Bukankah jelas siapa orangnya?" Tanya Andaru menyunggingkan senyum tipis.

"Kenapa melihatku seperti itu?!" Teriak Adisena tidak terima ditatap menyelidik oleh Andaru dan Dewandaru

"Hanya kau yang memenuhi syarat menjadi pengkhianat diantara kita semua," Andaru menyilangkan tangannya didepan dada.

Tapi keadaan ini salah menurut Dewandaru, mereka sedang mencari pengkhianat atau bermain tebak-tebakan? Kenapa suasananya sebercanda ini?

"Toh siapapun pengkhianatnya, aku akan memotongnya menjadi ratusan bagian," seru Andaru memicingkan matanya pada Adisena.

"Masih mencurigai ku?" Tanya Adisena pasrah.

"Iya," Andaru mengangguk, "buktikan jika bukan kau pelakunya."

"Dimana keris mu?" Lanjutnya.

Andaru bertaruh bahwa bukan Adisena orangnya, Adisena tidak akan berbuat hal rendahan seperti itu demi tahta.

"Aku meninggalkannya di istana," sahutnya ringan, tidak merasa cemas sedikitpun.
Andaru mengangguk, mencoba mempercayainya. Untuk terakhir kali.

"Aku akan membunuhmu jika ternyata kaulah orangnya."

***

Antasena benar, mustahil jika Lokapala bisa setenang ini setelah bendera perang secara terang-terangan dikibarkan kelima pangeran.

Buktinya padepokan Gunung Papringan sekarang sudah dikepung, siapa lagi jika bukan ulah Prabu Danaraja?

"Dimana Cakra?" Panik Andaru.

Dewandaru memukul kepala bagian belakang Andaru, bisa-bisanya saat mereka berada diambang kematian dia masih memikirkan anak itu?

"Pikirkan diri kita!" Teriak Dewandaru.

"Sejak kapan kau kurang ajar begini?!" Andaru melebarkan matanya, kenapa dia tidak ada harga dirinya sama sekali jadi yang tertua?

Terlambat, mereka tak sempat melarikan diri dari kepungan prajurit. Dengan mengarahkan pedang dan tombak, mereka mengurung Andaru dan Dewandaru di dalam bilik sebelum memasukkan mereka ke dalam kereta kencana.

"Kemana perginya Adisena?" Bisik Dewandaru dengan tangan terikat.

"Baguslah dia tidak tertangkap, kita tunggu bagaimana dia membebaskan kita nanti," jawab Andaru, tangannya sibuk mencoba melepas ikatan dipergelangan kakinya.

"Aku rasa ini ulahnya, dia lah utusan Rama untuk mengintai kita."

Dewandaru mengembuskan napasnya kasar, sudah dia duga bahwa Adisena lah di balik semua ini.

"Akan ku bunuh dia, ku potong menjadi seribu bagian lalu ku bakar di tungku api!" Sengit Dewandaru.

"Diamlah! Justru kalian yang akan dipenggal besok pagi!"

Seruan dari prajurit yang diperkirakan adalah pemimpin pasukan menginterupsi perbincangan mereka, ucapannya sungguh membuat nyali Dewandaru ciut. Bukan berarti Andaru tidak takut, tapi dia lebih takut tidak akan bisa bertemu Rukma lagi juga, takut jika tidak bisa menepati janjinya pada Cakra.

"Kira-kira bagaimana kabar Antasena? Apakah dia baik-baik saja?"

"Diam!" Andaru berbisik, "Akan lebih baik jika tidak ada yang mengetahui keberadaannya, itu akan menguntungkan bagi kita."

"Mustahil jika dia belum tertangkap sedangkan kita sudah."

"Dia tidak mungkin tertangkap jika masih mematuhi perintahku."

"Apa?"

"Tetap berada di pakunjaran bawah tanah."

Dewandaru tertawa rendah, menjaga agar suaranya tak terdengar sampai luar, "Merupakan keajaiban jika manusia satu itu bisa diam ditempat itu lebih dari seminggu."

"Apa maksudmu?" Andaru tak terima, "Bahkan belum ada tiga hari dia sudah tidak tahan."

Mereka tertawa serentak, membuat para prajurit mengedikkan bahu bingung. Sefrustasi inikah orang yang akan di hukum mati?
****

Aku mau buat ini sampai 30 an bab aja, soalnya aku sendiri nggak suka dalam satu cerita sampai berpuluh-puluh bab. Berarti cerita ini akan tamat pada kisaran bab 30 an, Nggak tahu berapa yang penting ada angka tiga didepan 😂

Siapa yang mau kalian baca di bab depan?

C u soon!

Turn Back Time Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang