19. Sweet Chaos 🍁

1.3K 181 7
                                    

Sweet Chaos : Day6
_____

Sepertinya takdir datang di alamat yang salah.

Rukma pernah mendengar kutipan itu, entah darimana tapi rasanya itu khusus di tujukan untuknya. Takdir ini bukan untuknya, cinta yang semua orang berikan padanya bukanlah untuknya. Rukma merasa menjadi pembohong ulung dengan kejahatan terbesar, berapa tahun penjara yang ia dapatkan jika semua orang tahu kebenarannya? Apakah di pancung sudah cukup?

***

Andaru menurut, dia tidak lagi memberontak ucapan Adisena. Benar, disana Rukma sudah aman tidak akan ada lagi yang menggangu wanita itu disana. Sekarang dia harus kembali ke tujuan awalnya, alasan mengapa ia berdiri di sini.

"Jagad, hanya kau lah orang yang bisa aku percaya. Aku mohon pada mu, apapun yang terjadi tetaplah tinggal di sisi Rukma selama aku disini. Jangan biarkan dia terluka walaupun harus menyerahkan nyawamu."

Jagad mengangguk, "percaya pada ku Raden. Aku tidak pernah mengecewakanmu, tepati lah janjimu untuk menang. Jangan pernah tundukan kepala mu kecuali untuk Tuhan."

Setelahnya Jagad melangkah pergi meninggalkan ruangan itu dengan rasa lega di hati Andaru. Dia hanya bisa bernapas jika tahu wanitanya sudah berada di tangan yang tepat.

"Kenapa kau mengirim Jagad? Apa yang akan kita lakukan disini tanpanya? Kau tahu kan jika dia adalah kunci kita untuk menang?"

Antasena segera bersuara, sungguh pilihan bodoh membiarkan Jagad yang menjaga Rukma. Akan jadi apa mereka tanpa jendral perang hebat itu?

"Lalu apa? Pilihannya hanya aku atau Jagad, aku bisa kehilangan tahta dan harga diri demi Rukma. Tapi aku tidak bisa kehilangan Rukma untuk tahta itu, aku hanya ingin balas dendam."

Dewandaru menyentuh pundak kakaknya, jika mereka berlima saja masih sering beradu mulut bagaimana menyatukan tujuan?

"Kalian duduklah dulu, kita akan lanjutkan membahas strategi perang ini setelah kalian semua tenang. Kasihan kak Adisena yang telah membuat rencana jika kalian akan menggagalkannya begitu saja."

"Dimana Daniswara?" Adisena tak menanggapinya, setelah menyadari hanya ada empat biji di ruangan ini. Kemana si bungsu?

"Entah, mungkin tidur," jawab Antasena.

"Tidak," Andaru bangkit berdiri dan melangkah menuju kandang kuda. Jangan sampai apa yang ditakutkannya terjadi.

"Dia pergi," Andaru menghela napas lelah, "Dia mengikuti Jagad."

Mereka tak tahu harus merespon apa saat sampai di kandang kuda dan melihat kuda Daniswara sudah tak terikat disana. Mereka di serang kebisuan dadakan.

"Ijinkan aku istirahat menjadi Andaru hari ini saja, kau boleh menjadi diriku," tepuk Andaru dipundak Adisena.

Mereka sontak tertawa, benar. Memiliki banyak saudara dengan kepribadian sangat bertolak belakang memang menyulitkan. Apalagi jika kau terlahir menjadi yang paling tua, anak pertama ingin cuti.

***

"Aku rasa rencana ini akan berhasil,"
Adisena seperti bisa pergi ke tempat mana pun tanpa memakan waktu lama. Dia tadi ada di padepokan gunung Papringan dan sekarang sudah berada disini, bersama resi Darto dan nyai Waru.

"Jika perkiraan ku benar, mereka akan memblokir segala jalan yang menuju langsung ke istana," ucap Ki Darto

"Benar, dia tidak akan membiarkan istana yang dia perjuangkan di rebut kembali," sahut Adisena.

Mereka tampak berpikir lagi seraya mengamati peta wilayah kerajaan Medang.

"Jika kita ingin menang, kita harus lebih kuat. Strategi maupun pasukan."

Adisena setuju dengan ucapan resi Darto, jika mereka hanya bergerak dengan pasukan seadanya-meskipun Arang Geni sangat terlatih, itu tidak cukup. Pikiran Adisena bercabang, apapun yang dilakukannya nanti jangan sampai menyakiti Rukma. Gadis itu sudah cukup terombang-ambing dalam pelarian dan keputusasaan. Tapi jika bukan karena Andaru, mungkin Rukma sudah bahagia bersamanya sekarang.

"Kau harus mempertahankan keadaan ini, kita akan bergerak sewaktu-waktu untuk menyesuaikan kondisi istana."

Adisena mengangguk, dia percaya apa yang di ucapkan resi Darto akan membantunya kelak.

"Tapi kita akan sulit untuk mendapatkan informasi dari istana, kita tidak punya orang disana."

Nyai Waru yang sedari tadi diam akhirnya buka suara, "Serahkan pada ku."

Setelah pembicaraan berat tersebut, Adisena berjalan menuju biliknya. Menjadi orang yang berperasaan dan berperilaku ganda memang sulit dan melelahkan, salah sedikit mati resikonya.

Adisena tak pernah mau dan tidak akan menyerah, dia yang pertama kali mengenal Rukma. Dia yang meminta pada Rama untuk menikahi Rukma, tapi kenapa Andaru? Bahkan jika para pangeran memenangkan pemberontakan ini, Andaru yang akan bertahta. Adisena benci, dia tidak rela jika Andaru memiliki keduanya. Tahta dan wanita.

"Hei!"

Adisena mengira itu bukan untuk dirinya, lagipula siapa yang berani memangil putra mahkota seperti itu?

Tapi Adisena melupakan seorang gadis tidak waras yang bisa melakukannya, Laras sudah berdiri di belakangnya dengan senyuman lebar.

"Jika dipanggil kau harus menjawab!" Sebal Laras saat mensejajarkan langkahnya.

"Jika memanggil orang itu harus benar, kau mau di penggal disini?" Ancam Adisena.

Laras terkikik, menyenangkan menggoda Adisena yang pemarah seperti ini. Jika membalik lembaran masa lalu dia tidak akan percaya bahwa inilah sifat asli Adisena, dia dikenal sebagai suami idaman para wanita karena kelembutan dan ramahnya. Nyatanya semua itu hanya kepalsuan.

"Sena."

Pria itu menoleh, namun yang didapatnya hanya senyum Laras yang tidak luntur.

"Sena."

Adisena mengernyit melihat senyumnya yang malah melebar, pria itu bertanya lewat tatapan apa yang salah dengan gadis itu.

"Sena."

"Apa!?"

Laras terkikik geli, "Kenapa kau menggemaskan sekali?"

Sedangkan Adisena kembali berjalan dan meninggalkan gadis kurang waras itu tertawa sendirian di belakang. Laras kembali menyusul Adisena, ditatapnya lekat wajah Adisena.

"Sena," pria itu tak menoleh, "kau itu orang baik, kau baik sebelum mengenal Rukma. Kau sangat baik, tapi sekarang keadaan telah membuatmu menjadi orang jahat. Kau bukan dirimu sendiri, berapa lama lagi kau akan menyakiti dirimu sendiri dengan berperilaku seperti ini?"

Adisena berhenti, dia memejamkan matanya jengah. Tahukah kalau Adisena paling benci di nasehati? Hidupnya saja belum tentu benar dan lurus, kenapa mau membuatnya sok bijaksana?

"Apa yang kau tahu? Berapa lama kau sudah mengenalku? Delapan tahun? Lima tahun? Bahkan belum ada dua bulan, Ras!" Suaranya meninggi.

Tapi dia sedang berbicara dengan Laras, gadis yang terbiasa di marahi banyak orang.

"Memangnya lama seseorang mengenalmu membuktikan seberapa dalam dia memahami mu? Tidak kan?" Laras mendekat, mengunci tatapan Adisena.

Selalu begini, Adisena tak bisa berkutik jika Laras sudah menatapnya dalam.

"Aku bahkan lebih mengenalmu daripada para saudara mu."

*****

Turn Back Time Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang