PIPIPIPP

431 19 0
                                    

hello babies, I'm here again. Glad to see you again after long time. Like I said million times before that I really really miss you. Istg.

Aku mau kasih info aja kalo. ADA YANG BARU NIHHH CIE. Bener. Aku abis buat cerita baru, fanfiction, time skip gitu tapi dengan pairing Mark Lee hehe.

Ayo baca yaaa!!! Mari bertemu lagi, I put so much effort buat nulis itu. aku harap semoga ceritanya nggak mengecewakan dan banyak pembacanya. Oh iya ini ada dikit spoiler. Judulnya 17.

_____


Tujuh tahun bukanlah tahun yang singkat. Butuh perjuangan, butuh air mata. Pelarian Nara selama ini membuahkan hasil. Mengubur seluruh rasa dan kenangan yang ia lukis karena Aron. Mengorbankan masa mudanya dan memilih pergi ke negeri orang dalam jangka waktu yang lama.

Nara memilih meninggalkan Korea pada usia belasan, setelah tamat sekolah dia memutuskan untuk pergi ke Australia. Berdalih mengejar pendidikan yang lebih baik tapi dia tahu betul. Dia hanya ingin lari sejauh mungkin agar pria bermarga Choi itu tidak menemukannya.

Tidak banyak kenangan yang bisa ia bagikan, mungkin tidak ada?

Masa remajanya ia habiskan untuk belajar, belajar dan belajar. Dari pagi hingga pagi datang menjemput. Setiap detik bergumul dengan buku dan serupanya. Dia tidak pernah tahu apa itu romansa, tentang bagaimana hatinya berdebar untuk orang lain, tentang bagaimana rasa tidak sabar berangkat kesekolah hanya untuk bertemu pujaan hati. Nara tidak mengalaminya. Setidaknya sampai seorang berandal bernama Choi Aron merobohkan hatinya.

Nara pikir dia sama seperti remaja kebanyakan. Tapi nyatanya tidak. Menyukai Aron adalah sebuah kesalahan. Seharusnya tidak pernah.

Dia lebih suka memperhatikan bagaimana peluh Choi Aron jatuh dari dahi menuju lehernya. Kulitnya yang sedikit kecoklatan akan mengkilap jika terkena sinar matahari atau bagaimana dia diam-diam menaruh sekotak coklat pada loker pria itu.

Nara tujuh belas tahun lebih banyak menghabiskan waktunya duduk di tribun lapangan untuk melihat Aron bermain bola. Bagaimana ketika pria itu tertawa dan bersorak ketika berhasil mencetak angka atau bagaimana kala dia menggusak surainya frustasi. Nara diam-diam tersenyum. Meremat buku jarinya ketika debaran menggelikan itu datang.

Dia menjadi tersipu hanya karena Aron tak sengaja menabraknya di koridor. Ketika Aron tersenyum tidak enak dan mengucap maaf berulangkali. Semuanya. Nara suka semuanya.

Ah. Tapi kembali lagi ke realita. Modal suka dan cinta ternyata tidak cukup dan tidak akan pernah mampu membuat Aron menerimanya.

Terlalu sibuk memikirkan masa depan dan pendidikan, Nara lupa bagaimana cara merawat diri. Lupa tidak memperhatikan perkembangan yang semakin maju.
Nara tujuh belas tahun terlalu naif akan make up dan sejenisnya. Terlalu naif untuk pergi ke salon hanya untuk melakukan perawatan.

Maka disinilah dia, tujuh tahun yang lalu. Berdiri disudut gang sempit dengan Aron dihadapannya. Tentu saja Aron selalu tampan, pria itu selalu menata rapi rambutnya. Menyemprotkan setiap tetes parfum hingga wanginya menyatu dengan keringat. Begitu candu.

Sementara Nara tanpa suara mengutuk bagaimana dia begitu jelek dan kampungan. Sebulir air mata jatuh disudut matanya, kotak bekal yang ia susun dengan penuh cinta dan rasa tulus telah terlempar dua meter didepannya.

“Gue nggak tahu harus ngomong apalagi ke lo.” Aron menyapu dahinya. Menendang sebuah tempat sampah hingga membuat Nara berjenggit.

Bukan ini yang dia harapkan.

“Lo tahu nggak? Gue paling benci sama orang yang gampang nangis, cengeng. Lo– kenapa dibentak dikit nangis?”

“Maaf Aron. Nara nggak pernah dibentak.” Nara menyahut lirih.

“Keliatan dari tampilannya. Lo anak manja yang nggak pernah ngerasain kerasnya dunia, nggak perlu minta karena semuanya udah terpenuhi. Anak sok polos karena lahir di keluarga kaya.”

Nara memandangnya sengit. “Lo nggak harus ngomong gitu. Kalau lo mau nolak gue, ya tolak aja. Jangan pernah bawa-bawa keluarga gue seolah lo bagian dari kami. Emangnya salah kalau gue lahir di keluarga kaya sementara lo miskin? Salah kalau gue nggak perlu minta ini itu sementara lo harus nabung sebulan bahkan lebih? Ada cara lain, ada yang lebih baik yang bisa lo lakuin buat nolak gue. Nggak juga dengan buang bekal buatan gue.”

Aron mengetatkan rahangnya. Harga dirinya tergores. “Lo itu jelek, jerawatan, gendut, lemak disana-sini. Nggak tahu caranya narik perhatian orang lain, lo nggak menarik. Dan sekarang lo, anak culun berani nembak gue? Sadar. Gue Choi Aron, cowok paling populer.” Melihat air mata Nara yang semakin mengalir Aron meneruskan. “Itu yang lo mau ‘kan? Gue udah nolak. Dan sampai kapan pun, lo nggak akan pernah pantas dapetin Choi Aron.”

Satu tamparan Aron dapat sebelum Nara melangkah. Berlari meninggalkan rasa sakit yang menghunjam dadanya ribuan kali.

Tidak sampai disana. Keesokan paginya, seakan ingin menambah rasa perihnya Aron menabur garam dilukanya yang menganga.

Cowok itu dengan lantang mengumumkan bahwa mulai hari ini dia berkencan dengan Sera, teman baiknya. Nara mengepalkan genggamannya kala Aron tersenyum miring kearahnya. Dengan bangga dan sengaja seolah memamerkan bahwa Nara tidak akan pernah pantas bersanding dengan dirinya.

Mencium Sera didepan matanya. Disaat semua orang dikelas bersorak dan menyanjung kedua pasangan baru itu, Nara terbakar. Memilih pergi dengan hati yang kian rapuh.

“Nara!” Sera berteriak, hendak mengejar namun lengannya dicekal.

“Biarin aja. Lo punya gue dari sekarang.” Aron menatapnya lamat.

Nara tersenyum simpul. Mengingat masa itu ternyata masih memberikan nyeri di dada. Tujuh tahun telah terlewati. Begitu pula rasa yang ia titipkan.

Sepuluh menit lagi waktu yang tertera pada tiket keberangkatannya.

Korea, aku pulang.

____

Gimanaaa? Langsung aja cek di lapak ku yaa, selamat bertemu kembali. I love youuuuuuu so muchhh ( ◜‿◝ )♡

Turn Back Time Where stories live. Discover now