Eps.12 - Janjian

Começar do início
                                    

Tak terasa, waktu nyaris pukul 3 sore. Aku dan Arraja benar-benar sudah seperti kuli yang tak digaji. Pasalnya kami berhasil membersihkan semua penjuru ruangan dengan bersih. Bukan, bukan karena kami kelampau rajin, hal itu disebabkan karena Pak Raiz duduk di salah satu bangku perpustakaan sembari mengawasi pekerjaan aku dan Arraja. Gayanya bak majikan yang sedang mengawasi anak buahnya, jika takut-takut di antaranya ada yang mencuri.

Aku menghirup udara segar di luar ruangan. Angin sepoi-sepoi terasa surga sementara di saat lelah dan panas seperti ini.

"Oke ... Arraja, Ayya, terima kasih sudah bekerja sama dengan baik. Jangan diulangi lagi skandal di toilet kalau nggak mau dapat hukuman berikutnya," tutur Pak Raiz di depan pintu perpustakaan, sesaat sebelum menepuk bahuku dan bahu Arraja bergantian.

Aku meniup poniku yang pastinya sudah berantakan, merasa jengah dan merasa perkataan dari Pak Raiz itu benar-benar berlebihan. Sementara Arraja hanya bergeming di tempat.

"Baiklah, selamat siang dan see you tomorow," ucap Pak Raiz sebagai penutup sebelum melangkah pergi meninggalkan kami.

Hening sejenak menyelimuti aura sekitar. Tanpa sengaja, aku dan Arraja saling tatap dengan pandangan tajam. Aku mendengus, memalingkan wajah.

"Sekarang mau apa?"

Bodohnya aku melontarkan pertanyaan. Jelas saja Arraja tak akan peduli. Bahkan bukan tak peduli lagi, saat aku berbalik ke arahnya, cowok sialan itu sudah menghilang dari jangkauan. Aku mengentakkan kaki kesal, lalu berlari cepat.

Saat langkahku mendekati area parkir, pandanganku menangkap Vinny yang secara tak sengaja juga sedang menatapku. Terlihat rona muka Vinny yang sontak memerah dan terlihat tegang. Karena penasaran, aku segera datang menghampirinya.

"Loh ... Vinny? Bukannya lo udah pulang dari tadi ya?" tanyaku, memandang Vinny dengan curiga.

"Eh, Ay ... gue ... gue mau nunggu-"

"Dia habis nunggu gue." Suara seseorang terdengar di belakangku. Aku tercekat saat mendapati Bryan yang seperti biasa, memasang ekspresi sok dingin.

Tunggu! Ada apa antara Vinny dan Bryan? Aku tak tahu perkembangan kisah cinta Vinny sejauh ini. Tapi aku benar-benar berharap bahwa pilihan hatinya tidak dilabuhkan untuk seorang gamers sok kegantengan itu.

"Vinny mau pulang sama gue." Bryan mengambil kunci motor dari saku celana.

Aku berusaha menormalkan ekspresi. Kualihkan tatapan ke arah Vinny yang segera tersenyum simpul. "Beneran, Vin?" tanyaku khawatir.

Vinny mengangguk pelan. Masih dengan lengkungan senyum di sudut bibirnya.

Triple o em ji. Reaksi dari Vinny berhasil membuat mataku melebar.

"Lo jam segini baru pulang habis ngapain dulu, Vin? Lo nggak diapa-apain, kan, sama beruang raksasa itu?" cecarku, mengecek seluruh badan Vinny.

"Gue denger ya. Dan gue bukan beruang raksasa," desis Bryan sambil melengos.

Vinny tersenyum, terlihat berusaha meyakinkan. "Ayya, gue nggak apa-apa. Gue sengaja nungguin Bryan sampai jam segini. Dia habis ikut kompetisi game online yang memerlukan koneksi internet tinggi. So, dia numpang Wi-Fi sekolah," pungkas sahabatku itu dengan tenang.

"Vinny ... gue nggak peduli soal itu. Yang jadi pertanyaan, kok lo mau-maunya sih nunggu beruang raksasa ...." Aku gemas sendiri. Bingung harus berbuat apa. Namun aku merasa Vinny tak boleh sampai naksir dengan Bryan yang songong itu.

"Lo kenapa sewot? Lo jealous? Gue udah bilang, kan, gue nggak suka sama lo." Bryan menyahut.

Sedetik kemudian aku tersadar bahwa si cowok gila ini masih salah paham yang berujung menyebabkan rasa percaya dirinya over dosis. Lantas otakku melintasi satu ide. Apabila Vinny bisa menaklukkan hati Bryan, aku tinggal minta bantuannya untuk mengatakan pada Bryan bahwa aku tak pernah sedikit pun naksir dirinya.

Karena yang kutaksir sejauh ini adalah Pak Arnold sang pangeran berkuda putih dan Orion sang cowok berhati manis. Astaga, apa baru saja aku menyebut nama Orion? Sepertinya pesona dia juga sudah mulai membiusku.

"Triple o em ji ... lo tuh ...." Aku mengepalkan tangan, ingin kuhantamkan ke pipi Bryan. Namun sebelum semua itu terjadi, Bryan segera mendorongku dan mengakibatkan diriku terjatuh ke lantai semen yang keras.

Bryan segera menarik lengan Vinny dan membawanya menuju ke tempat parkir motor miliknya. Vinny tampak ingin menolongku tetapi dia seperti serba salah.

"Vinny ... lo utang penjelasan sama gue, Decha dan Erin!" seruku seraya menahan perih di lutut.

Sebuah klakson motor dengan suara nyaring seketika mengejutkanku dari arah belakang. Sontak saja aku menutup kedua telinga rapat-rapat.

"Woy! Gue tahu lo lagi frustrasi, tapi jangan coba-coba bunuh diri di sini!"

Aku membuka mata yang sempat terpejam sesaat, lantas menengok ke belakang dan mendapati Arraja yang sedang bergaya angkuh di atas Satria FU miliknya.

"Saran gue ... mending cari rel kereta api. Biar ekstrem dikit buat cari mati." Arraja menyeringai dari balik helm.

Astaga, apa seperti itulah calon mantu idaman Papa? Papaku benar-benar perlu disadarkan dari ketidakwarasan.

"Ngaco! Siapa juga yang mau bunuh diri?" tukasku, bangkit berdiri sembari mengibas-ngibaskan debu yang menempel di rok.

"Terus ngapain duduk di tengah jalanan parkir kayak orang gila?" Arraja menghela napas. "Oh gue lupa. Lo, kan, emang cewek gila."

Oh semesta, berikan saja aku satu permintaan, maka aku akan meminta untuk melenyapkan cowok tengil nan jahil ini dari muka bumi. Biarkan dia hidup di planet lain bersama alien dan sejenisnya. Karena sepertinya dia bukan manusia sungguhan.

Sebelum aku sempat membalas perkataannya, aku menepi dan detik selanjutnya Arraja dengan sengaja menancapkan gas dan meninggalkan asap knalpot yang segera membumbung di sekitarku. Dasar cowok kurang ajar!

Parkiran masih tersisa dua-tiga motor, itu artinya masih ada penghuni di sekolah, karena tak ingin terpergok siapa pun, secepatnya aku melangkah menuju area luar sekolah.

Sesampainya di terminal, pikiranku jadi mengingat Orion. Pasti cowok itu sudah stand bye di tempat biasa untuk jualan. Sejujurnya aku ingin mendatangi Orion, ingin bercerita tentang semua yang kurasakan hari ini. Hanya saja aku tahu diri. Penampilanku saat ini sudah sangat berantakan dan tak pantas apabila berdekatan dengan Orion yang pasti sangat kece itu. Jika diibaratkan sebuah pepatah, mungkin aku dan Orion bisa saja terlihat seperti langit dan bumi.

Akhirnya aku memutuskan untuk segera naik bus yang hendak melaju searah tempat tinggalku.

Di dalam bus, aku duduk di samping jendela, bersebelahan dengan seorang ibu-ibu yang membawa kantung belanjaan berisi sayuran. Aku menatap jalanan yang ramai, sedikit merenungi segala sesuatu. Salah satunya tentang hatiku ini yang tak tentu arahnya. Apakah ingin tetap keukueh berharap Pak Arnold adalah keajaiban cintaku, ataukah aku harus berpaling ke arah Orion yang perhatian terhadapku?

Sebuah notif pesan masuk terdengar, menyentakku dalam bayangan.

Orion : Nanti malam siap-siap ya. Kita mulai bikin makalahnya. Tunggu gue di Waroeng Sandaran, nanti gue datang.

Aku membekap mulut, berusaha tak memekik keras. Waroeng Sandaran adalah sebuah kafe yang terkenal. Banyak para muda-mudi yang datang bertandang untuk menikmati berbagai menu yang disediakan. Dekorasinya yang terkesan bertema cinta menambah romantis suasana.

Ayya : Pasti, Yon. Gue nanti malam ke sana.

Dengan diakhiri emotikon senyum manis, aku segera membalas pesan Orion dengan penuh bunga-bunga di perutku. Menyeimbangi hariku yang cukup melelahkan.

***

TBC...

Wah, bagaimana kelanjutannya ya? Apakah Orion dan Ayya akan kencan romantis dengan dalih mengerjakan makalah? Simak di episode selanjutnya. 😊

Enjoy Reading & Keep Support.

25 Juni 2020.

Be My Miracle Love [End] ✔Onde histórias criam vida. Descubra agora