• 50 •

31.6K 3.3K 1.1K
                                    

#50 — ˈpəniSHmənt

Setelah baca part ini, aku harap kalian tetap baik-baik aja.

Happy reading!

• • •

Arran menyeret Ben keluar dari rumah Valletta. Meskipun ia sangat emosi dan ingin segera menghabisi temannya itu. Ia masih tahu diri untuk tidak membuat rumah orang lain kacau karena perkelahiannya. Lagi pula, ia juga memerlukan tempat terbuka agar ia lebih leluasa untuk menghabisi bajingan yang satu ini.

"Anjing lo!"

Satu pukulan lagi mendarat di wajah Ben hingga cowok itu tersungkur ke aspal. Ben sama sekali tidak berusaha melawan sedari tadi, cowok itu hanya diam membiarkan Arran sesuka hati melampiaskan emosi padanya.

Ben tertawa sambil menyeka darah di sudut bibirnya. Arran menarik baju Ben dan kembali melayangkan tinjunya pada cowok itu. Sungguh, Arran muak dengan sikap Ben yang seperti sekarang ini.

"Lo mau matiin gue? Silakan kalau lo mampu," tantang Ben.

"Lo masih belagak enggak nyadar salah lo apa? Lo masing enggak merasa bersalah atas apa yang udah lo lakuin sama Nerra, hah?!"

Arran mendesak Ben, ia cengkram kaus lelaki itu dengan posisi kaki menginjak perutnya. Akan tetapi, meskipun begitu, Ben sama sekali tidak menunjukkan raut wajah kesakitan padahal wajahnya juga sudah cukup bonyok sana sini. Sungguh, Arran dibuat semakin emosi saja melihat tampang menyebalkan itu.

"Gue enggak ngerasa salah," ujarnya sambil menyeringai lebar. Dengan kondisi sudut bibir sobek dan mulut berdarah seperti itu, seringai Ben terlihat sangat menyeramkan. "Gue sama dia mau sama mau kok. Enggak usah lebay lo."

Lagi, kepalan tangan Arran yang bertindak. Ia tidak pernah menyangka akan sebenci ini pada Ben, ia tidak pernah menyangka dirinya sendiri akan menghajar temannya sampai seperti ini.

Lupakan soal teman, Ben memang pantas mendapatkan pukulan-pukulan itu. Bahkan mungkin itu masih kurang untuk membalas apa yang sudah cowok itu perbuat pada Nerra.

"Lo pikir gue enggak tahu? Lo pikir gue setolol itu, Ben? Gue tahu semua yang udah lo lakuin ke Nerra, gue tahu ancaman-ancaman yang selalu lo kasih ke Nerra kalau dia enggak mau nurutin mau lo, gue udah baca semua dm lo sama Nerra di ig! Gue punya bukti buat seret lo ke jalur hukum, bangsat!"

"Lo mau bawa masalah beginian doang ke jalur hukum?" tanya Ben dengan senyum merendahkan. "Ya silakan aja lakuin apa pun yang lo mau. Itupun kalau lo bisa. Lo lupa bokap gue siapa? Lupa lo, Ar?"

"Bokap lo enggak ada apa-apanya dibanding bokap gue, anjing!"

Arran sudah tidak mampu lagi berpikir jernih, sisi binatangnya benar-benar menguasai emosinya, ia terus memukuli Ben dan akan terus begitu hingga mata kepalanya sendiri menyaksikan cowok itu meminta ampun atas semua dosanya. Sayangnya, reaksi Ben justru malah membuatnya semakin hilang kesabaran.

"Seyakin itu bokap lo bakal peduli sama lo, Ben? Sekalipun lo masuk penjara, gue yakin dia enggak akan pernah peduli sama lo. Lo enggak pernah ada harganya buat dia, lo itu cuma anak enggak berguna. Kalau bokap lo tahu kelakuan lo yang kayak tai, gue yakin dia bahkan enggak akan sudi buat nolong lo. Bokap lo bakal lebih milih buang lo ketimbang nolongin anak gagal kayak lo."

Kalimat-kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Arran. Jika dilukai fisik berkali-kali tidak mempan pada Ben, maka serangan pada mental cowok itu akan menjadi pukulan utamanya.

"Jangan sok tau lo anjing!" sentak Ben sambil menendang perut Arran.

Baru kali ini amarah terlihat di wajah Ben. Tangannya terkepal dan rahangnya pun mengeras. Sorot matanya menatap dingin pada Arran, egonya berhasil disentil oleh cowok itu.

BAD GAMESWhere stories live. Discover now