• 18 •

46K 3.9K 250
                                    

#18 — Stalker?

• • •

Valletta menarik dan mengembuskan napas berkali-kali di depan sebuah pintu kamar bercat putih. Ia memejamkan mata sesaat sebelum tangannya menyentuh gagang pintu. Sambil menguatkan hati, dengan perlahan Valletta membuka pintu kamar itu.

Tidak ada yang berubah. Ruangan di hadapan Valletta masih sama seperti dulu. Warna biru muda mendominasi ruangan kamar yang sudah ditinggalkan pergi oleh pemiliknya itu. Barang-barangnya masih tetap di tempat, tidak ada yang hilang dan tidak ada yang bertambah.

Valletta melangkah masuk, matanya menjelajah setiap sudut kamar Nerra. Ia berjalan menuju sudut ruangan, di mana sebuah kardus besar bertuliskan 'PUNYA AYIN' diletakkan di sana. Valletta menyentuh tulisan namanya yang ditulis Nerra untuk terakhir kalinya. Sejak kecil, Nerra memang memanggilnya Ayin karena ajaran Om Farhan—papanya Nerra. Om Farhan memang lebih suka memangil nama Aylin, ketimbang Valletta.

"Gue kangen lo, Ra. Lo di sana apa kabar?" Suasana hati Valletta dengan cepat berubah, suaranya bergetar dan selaput bening mulai mengaburkan pengelihatannya.

Valletta tersenyum sedih, ia melangkah meninggalkan kardus itu dan berjalan menuju meja belajar Nerra. Ia tidak berniat membawa kardus itu pulang, lagi pula ia heran kenapa Nerra harus mengembalikan semua barang-barang pemberian dari Valletta.

Jari lentik Valletta kini menyentuh pigura foto Nerra dan dirinya. Ia memandangi potret Nerra yang tersenyum cantik sambil memeluknya dengan erat. Valletta tidak bisa lagi menahan air matanya untuk tidak jatuh. Dadanya sesak sekarang.

Pertanyaan di kepala Valletta masih sama. Kenapa Nerra pergi? Apa yang terjadi pada Nerra? Kenapa Nerra tidak pernah mengatakan padanya jika dia tidak baik-baik saja? Kenapa Nerra selalu membiarkan Valletta tahu kebohongan tentang hidup Nerra yang selalu bahagia?

Setelah menghapus air mata di pipinya dengan satu tangan. Valletta meraih pigura berisikan foto Nerra dengan Arran yang mengenakan seragam khas SMA Adidarma. Ia tersenyum sedih.

"Harusnya ... gue tahu. Selama ini lo enggak pernah baik-baik aja, selama ini lo cuma pura-pura bahagia."

Valletta mendekap foto Nerra dan Arran, ia membawa benda itu lalu duduk di tempat tidur Nerra.

"Ra ... lo marah enggak gue jadian sama Arran?" tanyanya pilu.

"Maaf .... Maaf kalau semisalnya lo marah sama gue karena hal ini."

Hal lain yang membuat Valletta tidak tenang saat memutuskan menerima Arran jadi pacarnya adalah karena ia teringat Nerra. Jauh di dalam hati kecilnya ia merasa telah menghianati Nerra. Ia merasa bersalah, takut jika Nerra akan marah padanya karena merebut Arran.

"Gue jahat banget, 'kan? Ngerebut cowok lo gini?" tanya Valletta pada foto Nerra yang berdiri di samping Arran sambil merangkul lengan cowok itu.

Lama memandangi foto itu, Valletta baru sadar bahwa foto itu terasa ganjil. Ia sedikit memicingkan matanya untuk melihat lebih jelas pada bagian sisi tubuh Arran yang terlalu berjarak dengan pinggiran pigura. Sebelah lengan Arran hilang, Valletta bisa melihat sisi itu tidak rata. Bukan karena hasil fotonya yang memang memotong bagian itu, tapi memang bagian itu sengaja di lipat.

Sambil mengigit bibir, Valletta memutuskan untuk membongkar pigura itu. Ia mengeluarkan fotonya dengan hati-hati. Benar dugaanya, bagian itu memang dilipat. Valletta membuka lipatan itu lalu mengembuskan napas pelan saat melihat apa yang ada pada bagian dilipat itu.

Bagian yang dilipat itu ternyata menampilkan seorang cewek yang sedang dirangkul Arran. Meskipun wajah cewek itu dirusak dengan coretan spidol, tidak sulit untuk Valletta tahu bahwa cewek itu adalah Berlina.

BAD GAMESOnde as histórias ganham vida. Descobre agora