Eps.7 - Awal Dekat Dengannya

Start from the beginning
                                    

Triple o em ji. Aku menjerit keras dalam hati. Sisa waktuku dihabiskan di sini. Namun aku tak punya pilihan lain selain mengangguk dan duduk di sofa yang tersedia.

"Punya saya nggak bisa didahulukan ya, Pak?" Aku bertanya sedikit tidak enak hati. Hawa panas menjalari sekujur tubuh, namun untungnya ada kipas angin yang berputar-putar di dinding pojok atas ruangan.

Pak Samsuri hanya terkekeh pelan. "Tenang aja, Neng. Saya usahakan ini kelar nggak sampai jam lima beneran."

Perkataannya berhasil membuatku bernapas lega dan menyandarkan punggung ke sofa. Ternyata cukup nyaman. Terlebih suara orang-orang terminal tidak terlalu menelusuk gendang telinga. Hal tersebut membuat aku mencoba memejamkan mata sejenak. Lantas pelan-pelan perasaanku mulai terhanyut dalam kenyamanan ini.

***

Aku baru saja berhasil melewati mistar dan mendarat sempurna di atas matras. Semua teman-temanku menatap takjub dan berbinar-binar. Tepuk tangan segera menggema di lapangan. Aku siap akan berselebrasi atas keberhasilan ini ketika lambat laun suasana lapangan menjadi buram. Suara lembut seseorang mengusik telinga dengan pelan.

Aku segera membuka mata perlahan dan mendapati diriku masih terduduk di sofa tempat jahit Pak Samsuri. Astaga, aku ketiduran dengan nyaman dan ternyata soal keberhasilanku melompati mistar hanyalah bunga tidur.

"Maaf, Neng, ganggu. Itu celananya udah jadi." Suara Pak Samsuri menyadarkan lamunanku.

Aku terkesiap. Sudah jadi? Cepat sekali. Refleks aku segera menengok jam yang terpampang di dinding. Nyaris pukul 5 betulan.

"Eh iya, Pak. Maaf saya malah ketiduran."

"Nggak apa-apa, Neng. Daripada nggak ada kegiatan sembari menunggu." Pak Samsuri terkekeh.

Aku tersenyum malu, lantas merogoh uang yang diberi Arraja. "Jadinya berapa, Pak?"

"35 ribu, Neng!"

Dalam hati aku mengatakan bahwa harga tersebut merupakan harga yang murah. Entahlah menurut orang-orang di luar sana.

Aku mengangguk dan menyerahkan uang tersebut kepada Pak Samsuri. Setelah memasukkan kantong plastik tersebut ke dalam tas dan mengambil kembalian serta tidak lupa juga meminta nota sebagai bukti, aku lekas pamit kepada Bapak penuh senyuman ramah tersebut.

Awan mulai terlihat berarak. Namun matahari masih dengan gagah bersinar terik di ufuk barat.

Berjalan menuju tempat bus yang akan mengantarku pulang, refleks tanganku memegang perut. Rasa lapar segera menghinggapiku mengingat jam istirahat kedua di sekolah tak kugunakan untuk makan.

Rasa lapar tersebut memicu semangat saat aku memutuskan untuk membeli batagor milik Pak Handoko yang biasa mangkal di dekat antrian bus yang hendak melaju. Ah betapa pun aku rindu dengan batagor buatan Pak Handoko itu. Satu minggu lebih aku tak mendatanginya membuat kaki ini melangkah dengan cepat ke arahnya.

Itu dia! Sembari menenangkan cacing-cacing di perut, aku tersenyum senang saat sudah berada di samping Pak Handoko yang baru saja melayani pembeli.

"Siang Pak Handoko," kataku dengan ceria.

Namun sepertinya aku salah orang. Orang di hadapanku ini bukan berperawakan seperti Pak Handoko. Sedetik setelah aku mengatakan ucapan pembuka tersebut, ternyata dugaanku benar bahwa dia bukan Pak Handoko. Aku tidak salah gerobak batagor, kan?

Cowok yang memakai sweater warna putih dan bertopi itu menatapku, membuatku menganga tak percaya.

"Orion? Lo ... Orion anak Bahasa, kan?" Aku bertanya dengan raut wajah yang penuh ketakjuban.

Cowok dengan rambut lurus bagian depan yang sengaja tidak ditutup topi itu mengulas senyum manis. Ah cute boy.

"Iya bener gue Orion. Lo ... Ayya, kan? Anak ... IPA kalau nggak salah?"

Demi pangeran berkuda putih yang saat ini entah sedang apa, aku tak menyangka seorang Orion mengenalku. Padahal aku bukan tipe cewek populer. Begitu pun dengan Orion, dia juga bukan cowok populer di sekolah. Hanya saja menjadi ketua klub futsal yang bertampang keren membuat cowok tersebut menarik beberapa perhatian kaum hawa.

Sejujurnya aku sudah mengenal Orion sejak kelas X. Namun aku hanya sebatas kagum dengannya tanpa ada harapan tinggi untuk bisa mencintainya. Aku pun sadar selama ini Orion selalu dikenal dekat dengan cewek-cewek barbie sejenis Cherry dan teman-temannya.

"Kok lo bisa tahu nama gue ya?" tanyaku takjub, ada sinar cerah di pelupuk mataku.

Orion terkekeh singkat. "Ya tahulah. Lo kan terkenal musuhan sama Arraja, teman sekelas lo sendiri itu."

Astaga, apa semua teman-teman seangkatan mengetahui tindak-tanduk aku dengan raja neraka itu? Tapi tak bisa dipungkiri, kehebohan demi kehebohan selama ini seolah menjadi bahan obrolan anak-anak dari berbagai kelas.

"Ya ...."

"Lo sendiri kenapa bisa tahu nama gue?" Orion menghentikan ucapanku.

"Oh jelas dong. Lo, kan, kapten futsal sekolah kita. Ya minimal gue tahu orangnya dan namanya. Meski ... nggak kenal secara langsung sih." Aku bahagia bisa berinteraksi dengannya.

"Well, padahal gue nggak seterkenal itu." Orion merendah, membuatku tersenyum sumringah.

Tanpa kuduga, cowok dengan tubuh kecil namun berotot ini tiba-tiba mengulurkan tangan ke arahku. "Oke baiklah Ayya, kalau gitu mulai sekarang kita bisa jadi teman. Salam keakraban."

Aku terkesiap dan berusaha bangkit dari dunia khayal. Namun setelah melihat Orion menggerakkan tangannya agar segera kujabat, aku baru yakin bahwa ini kenyaataan. Oh semesta, apa yang harus kulakukan?

Nampaknya cacing-cacing di perut seketika menjelma menjadi kupu-kupu yang beterbangan saat Orion menatapku dengan cara yang sangat manis. Tidak seperti Arraja. Tersadar dari ketersimaan, aku lantas membalas jabatan tangan Orion.

"Ya ... salam keakraban, Orion."

Detik berharga ini begitu cepat berlalu, dengan berat hati, aku melepaskan genggaman tangan ini. Berusaha menghilangkan efek salah tingkah yang segera mendera di lubuk hati.

"Oh iya kenapa lo bisa jualan batagor punya Pak Handoko?" Aku menatap Orion, buru-buru mencari topik pembicaraan.

...

***
TBC...
Enjoy Reading & Keep Support.

Terima kasih yang sudah meramaikan BMML dengan cara ★ dan 💬

10 April 2020

Be My Miracle Love [End] ✔Where stories live. Discover now