"Perasaan ingin melindungi lebih mendominasi, dan cewe itu pun ga pernah menganggap lebih dari sekedar itu."

"Ternyata permasalahan soal perasaan itu lebih sulit ya, bang."

"Kamu udah gede ternyata."

Fikri mendongak menatap tv yang sedari tadi hanya menyala terabaikan. Hatinya menghangat merasakan dirinya sedekat ini dengan Nadia. Hatinya merasa lebih lega. Ia sadar kata-katanya sangat ditujukan untuk Nadia walaupun cewe itu tak menyadarinya.

"Apa yang sebenarnya ingin kamu ceritain Nadia?"

"Aku cuma takut sama perasaan bimbang yang terus-terusan ada dihati aku."

"Rahardian, membuat aku bingung sama semua ini. Rahardian selalu berhasil buat aku goyah, bang. Aku ga suka perasaan ini, bang. Sementara Fariz, dia udah berjuang sampai segininya buat aku."

"Kenapa... kenapa Rahardian selalu datang disaat yang ga tepat, Bang."

Suara keputusasaan keluar begitu saja dari mulut Nadia. Kelopak matanya menutup menghilangkan segala pemikiran yang ada pada pikiran dan hatinya. Terkadang ia begitu yakin, sangat yakin hatinya hanya untuk satu orang, Fariz. Ya, hatinya untuk Fariz. Tetapi waktu terus saja mengombang-ambing perasaannya. Dirinya selalu saja menyalahkan waktu.

Rahardian sudah begitu dalam memasuki relung hatinya sampai-sampai dirinya tak tau sudah berapa jauh Rahardian melangkah didalam hatinya.

"Kamu tanya hati kamu sendiri, Nadia. Perasaan kamu itu bisa nyakitin kamu sendiri nantinya. Kamu harus terus terang sama hati kamu. Kamu terlalu takut untuk mengambil resiko. Jangan pernah lari dari itu semua. Jangan sampai kamu menyakiti hati seseorang yang sudah sangat tulus sama kamu. Jangan sembarangan mempersilahkan seseorang masuk ke hati kamu dengan begitu mudah."

Mendengar itu, Nadia menghembuskan napasnya berat. Otaknya sudah menyimpan dengan baik kata-kata panjang Fikri yang seakan begitu pas menampar hatinya.

Tiba-tiba saja bunyi bel rumahnya begitu nyaring terdengar membuat Nadia bangkit begitu saja.

"Aku aja, bang." Ucapnya saat Fikri akan bangkit.

Tangannya perlahan membuka pintu lalu berjalan menuju gerbang hitam tinggi rumahnya. Ia melihat pada layar yang menunjukkan siapa yang datang kali ini. Tatapan matanya membelalak membuat Nadia langsung menyuruh penjaga rumahnya untuk membuka pintunya.

Cowok itu masuk dengan terburu-buru mengesampingkan banyaknya luka pada tubuhnya. "Cepat tutup pintunya." Ucap cowok itu dengan lirih.

Tubuhnya langsung berhambur begitu saja di pelukan Nadia. Tangannya mendekap erat tubuh Nadia dihadapannya menghirup dengan begitu dalam aroma tubuh Nadia di dekapannya.

Nadia merasakan detak jantung begitu cepat dari cowok didepannya. Tangannya masih menggantung belum membalas pelukan yang sangat erat dari cowok didepannya walaupun ia tau tubuh tegap dihadapannya ini sedang menahan sakit karena ringisan yang keluar begitu pelan tetapi telinga Nadia berhasil mendengarnya.

Ada perasaan khawatir, hatinya bergejolak begitu cepat. Nadia berusaha melepaskan pelukan erat cowok dihadapanya tetapi cowo itu semakin mengeratkan pelukannya.

"Beri aku waktu lima menit."

Lima kata yang keluar dari mulut cowok itu pun seperti sulit keluar dari bibir merah yang terdapat luka itu.

Beberapa menit setelahnya, cowok itu melepaskan pelukannya. Iris mata hitam gelap itu menatap Nadia begitu dalam yang membuat Nadia berusaha memahami tatapan itu. Tetapi nihil, tatapan mata itu sulit diartikan, tak bisa terbaca sama sekali.

My BadBoy Only One [slow Update]Where stories live. Discover now