chapter 01

2.2K 165 171
                                    

1:
silver dagger

Tidak ada tempat aman untuk berlindung. Semuanya gelap, tidak ada setitik cahaya untuk menerangi, sepanjang jalan bau busuk bak bangkai tikus yang membukit, dan darah terus mengucur dari bahu yang barusan terkena tebas pedang oleh salah satu prajurit tersisa yang kubunuh dengan menancapkan busur panahku pada nadi di lehernya.

Kemudian secara tiba-tiba, cahaya bulan memasuki celah pepohonan tinggi dengan malu-malu. Pandanganku terang, jantungku melompat hingga ke tenggorokan begitu melihat sosok tinggi berdiri limabelas kaki jaraknya dariku memegang pedang panjang di tangan kanannya.

Aku tidak ingin bergerak ke sana, aku ingin berbalik melarikan diri, sesuatu di dalam diriku mengibarkan kata bahaya. Namun ragaku seperti dikendalikan, kakiku berjalan ke arah sosok tinggi itu tanpa perasaan takut. Suara dedaunan yang terinjak menemani langkahku yang lambat, semakin mendekat semakin nampak jelas sosok itu yang ternyata seorang pria. Wajahnya tidak terlihat, gelap karena sinar bulan tidak ingin menerangi namun aku dapat mendengar napasnya yang berat memenuhi telinga.

Lima langkah lagi...

Pria itu mulai mengangkat pedangnya, mengambil kuda-kuda. Dan aku tetap berjalan lambat ke arahnya tanpa ingin mengeluarkan pisauku sebagai perlawanan. Sudah kukatakan, ragaku dikendalikan sementara jiwaku memberontak ingin membunuh pria tinggi itu.

Dua langkah lagi...

Pria itu mengacungkan pedangnya lurus kepadaku, kedua tangannya menggenggam erat pedang tersebut sementara aku terus berjalan lurus ke arahnya seperti siap menghadapi kematian.

Langkahku berhenti dan saat itu juga pria itu menggeram nyaring menggema di seluruh penjuru hutan selagi dia menusukkan pedangnya tepat di jantungku.

Ragaku tidak dikendalikan lagi, di sisa nyawaku aku melotot lebar, terbatuk mengeluarkan darah sambil menyentuh pedang yang menusuk jantungku dengan tangan bergetar hebat.

Nyawaku sedikit lagi tertarik keluar. Aku tidak dapat mendongak, merasa gila karena mendengar pria yang menusukkan pedangnya di jantungku menangis selagi dia mencium puncak kepalaku.

"My darling..."

Sialan!

Sial, sial, sial. Mengapa aku tertidur di waktu yang tidak tepat?

Menggelengkan kepala, aku mencoba bernapas dengan benar sambil mencoba melupakan mimpi buruk yang akhir-akhir ini selalu berada di tidurku tanpa ada sedikit pun yang berubah dari jalan ceritanya.

Aku mengambil pandangan lebar untuk memeriksa apakah barangku tidak hilang atau dicuri seseorang karena aku tertidur di sebuah gubuk jerami seorang petani. Tidak ada barang berharga di sini, semuanya hanya ada sampah dan kotoran tikus. Sebelumnya aku hanya ingin mengistirahatkan diri karena perjalan jauh yang memakan waktu hampir setengah hari, namun ternyata aku malah tertidur.

Aku berjalan keluar setelah mengendap-endap seperti pencuri, memastikan tidak ada seorang pun yang melihatku memasuki gubuk milik petani miskin yang sebelumnya kuharap memiliki koin di sudut ruangannya—yang mana malah kudapati adalah kotoran tikus.

Ini adalah hari Jumat sore di desa Selatan yang tidak kuketahui namanya. Lagipula aku tidak peduli dan tidak ingin mengingatnya.

Dari kabar burung yang beredar, akan ada acara besar hari ini di desa ini. Aku senang sekali karena ini bisa saja sebagai tempatku untuk mendapatkan penghasilan tambahan.

Mengetuk-ketuk ujung kakiku di tanah, aku merasa sebal karena gerombolan di depanku terhenti entah karena apa. Berdecak sebal, aku menjaga pandanganku tetap tajam selagi menatap sekitar memastikan orang-orang yang berada di kiri dan kananku tidak mencuri sesuatu dari tubuhku.

FleeWhere stories live. Discover now