chapter 53

278 42 102
                                    

TW = HARSH WORD & VIOLENCE

53:
castlebourne

Kota itu luas dan besar, begitu megah dan elegan. Kingsward merupakan ibu kota di tanah Grandland; tanah raja dan tanah di mana istana Castlebourne berdiri. Orang-orang menyebutnya Kota Raja. Semua orang mengetahui bahwa ratusan tahun lalu tanah megah yang dikelilingi oleh laut ini dulunya tanah kelahiran keturunan Archilles, sampai sekarang juga tetaplah seperti itu.

Patung Raja Tiberias I Archilles setinggi seratus meter kembali menyambut. Kuda-kuda dan pedati yang membawa rombongan Drummond ini berjalan lurus memasuki kota yang dipenuhi oleh panji-panji kerajaan yang berkibar di setiap sudut. Kingsward merupakan salah satu kota dengan jumlah penduduk melebihi satu juta penduduk, sama seperti Kinlarney. Namun pemandangan kota ini sangat berbanding terbalik dengan Kinlarney yang begitu padat dan dipenuhi bangunan yang saling tumpang tindih. Penduduk yang tinggal di Kingsward sudah dipastikan memiliki kehidupan yang baik.

Di bukit paling ujung kota ini, Castlebourne berdiri kokoh menjulang tinggi bagaikan mata besar yang mengawasi dengan garang. Dari jarak sejauh ini bahkan sudah terlihat istana itu begitu besar. Lantas bagaimana jika melihatnya dari jarak dekat? Aku jadi teringat Lydia yang pernah mengatakan bahwa istana itu sangat-sangatlah besar, bahkan bisa-bisa tersesat di sana. Perkataannya hari itu sebentar lagi akan kubenarkan.

Berada cukup jauh di belakang istana, ada sebuah pulau bernama Benteng Perunggu. Pulau kecil itu merupakan pulau di mana tiga ekor naga, kuda-kuda terbang, dan tujuh ekor hippogriff berada. Makhluk-makhluk itu ditangkap dan dilatih untuk perang, namun tetap dipastikan mendapatkan kehidupan yang layak di Benteng Perunggu.

"M'lady," Edith berbisik di sebelah, dia masih menjaga kepalanya agar tertunduk. "Tanganmu masih bergetar."

Aku tahu, pikirku lirih.

Tidak seharusnya Edith berada dalam satu kereta bersama kami, Lady Hilda bahkan sedari tadi sudah menjerengkan matanya tanda tidak suka. Namun, entah bagaimana, aku merasa lebih aman jika ia berada di sisiku setelah apa yang ia perbuat kepada Hosteen; tadi pagi Edith dengan berani mengusir pria itu begitu sadar aku sama sekali tidak ingin melihat wajahnya. Aku ingin sekali memerintahkan Edith untuk menggorok leher Hosteen jika pria itu berani melukaiku lagi secara sengaja mau pun tidak sengaja. Hosteen berhasil membuat trauma baru untukku.

"Kita sudah tiba." Lady Hilda mengumumkan selagi mengintip dari jendela. Kereta baru saja memasuki gerbang perunggu istana kemudian melewati jalanan lebar berpagar pepohonan. Pemandangan itu cukup membuat Lady Hilda duduk dengan posisi sedia kala sembari menyentuh tangan putrinya dan tersenyum. "Lydia, anakku yang manis. Sebentar lagi kau akan bergelar ratu, ratu di sepenjuru negeri," katanya.

Rupanya Lydia gugup, namun dia berhasil menutupi itu dengan senyumannya yang sempurna.

Kereta berhenti di area bailey* bawah saat Lady Hilda hendak bersuara lagi. Suara derap kuda di belakang juga ikut berhenti, sang kusir membukakan pintu kereta dan menyambut Lady Hilda yang memutuskan menjadi orang pertama keluar. Aku tidak tahan untuk membuat kepalaku semakin mendongak menatap besarnya istana di hadapan. Lydia tidak main-main dengan perkataannya.

Saking terpesona pada istana, aku sampai tidak menyadari kehadiran sejumlah orang yang berjarak sepuluh langkah di depan kami. Sesosok tinggi nan ramping berdiri di tengah di kelilingi para lord. Dalam balutan jubah warna perunggu yang mengkilap di bawah sinar matahari, ia mengibaskan bulu mata lentiknya yang berwarna putih keperakan senada dengan warna rambutnya. Mata biru yang tidak normal itu menatap lurus kepadaku dan dalam sekejap tubuhku membungkuk dalam-dalam.

FleeWhere stories live. Discover now