chapter 41

433 70 250
                                    

Warning!
This chapter contains violence and blood
Read at own risk

41:
north we go

Ada sebuah kisah, dongeng, dan nyanyian-nyanyian tentang kerajaan kurcaci yang diserukan namun kian meredup.

Di bagian Timur Laut negeri Pendeus, berdiri sebuah kerajaan Kurcaci bernama Bal Boldir dengan raja yang bernama Nundir, putra dari Nundur Stormhorn. Bal Boldir adalah sebuah kerajaan dengan rakyatnya yang hidup damai tanpa adanya hal buruk yang mengganggu. Setidaknya begitu, hingga suatu hari terjadilah.

Berpuluh-puluh tahun sebelum terjadinya peperangan antara manusia dan kaum Elf, manusia sudah terlebih dahulu memulai peperangan dengan kaum Kurcaci. Perang yang dipimpin oleh Manrel Wesley, mengatasnamakan Raja Tiberias ke-9. Namun yang membedakan, para kurcaci tidak dibantai habis seperti yang dilakukan manusia kepada kaum Elf. Nundir memutuskan untuk menarik mundur Hornfeet—pasukan kurcaci—yang dilihat dari segi mana pun akan mengalami kekalahan. Konon dikatakan walaupun manusia tidak memiliki kekuatan mistik, namun mereka memiliki kemampuan mengerikan yang disembunyikan di dalam diri mereka. Nundir dapat melihat itu dengan baik. Dia memilih menarik pasukannya dan membiarkan manusia mendapatkan apa yang mereka inginkan: perbudakan.

Rakyat Bal Boldir menentang keras keputusan sang raja. Harga diri sangat terluka. Mereka mulai menyebut Nundir sebagai Raja Budak. Mereka lebih baik mati daripada menjadi budak yang mengisi bank kerajaan dengan emas dan permata dari tambang milik mereka.

Tapi satu hal yang tidak diinginkan oleh Nundir Stormhorn adalah ia tidak ingin kaum kurcaci lenyap dari muka bumi. Pemikiran yang sama sekali tidak diterima baik oleh kaumnya sendiri walau mereka tetap memiliki Bal Boldir sebagai rumah. Mereka memang memiliki rumah, namun tidak dengan pemimpin. Mahkota Nundir Stormhorn dicabut. Keturunan Stormhorn dipastikan tidak akan pernah memimpin. Tidak ada lagi raja di wilayah Timur Laut, tidak ada lagi Raja dari seluruh raja kurcaci.

Kisah itu membuatku kembali berpikir apakah manusia, atau mungkin pasukan Klan Wesley atau mungkin Highguard, sedang melakukan pembantaian kepada kaum Kurcaci lagi?

Apakah itu yang menyebabkan Linton dibunuh?

Lantas di mana Edgar? Dan Freya?

Memikirkannya hanya membuatku kembali ingin menangis. Tapi air mata rasanya sudah mengering dan aku tidak memiliki tenaga hanya sekedar untuk menangis.

Kami memutuskan untuk memotong kayu yang menancapkan kepala Linton. Tidak mungkin mencabut atau isi kepalanya akan berhamburan keluar. Kemudian menggunakan kain pemberian elf sebagai pembungkus kepalanya. Bagaimana pun juga, Linton pantas untuk dikubur dengan layak.

Bukan aku yang menangis terlalu banyak, tapi Harry. Dia masih saja bercucuran air mata saat menggali tanah. Air matanya tidak kunjung habis, tapi dia menangis tanpa suara kali ini. Perasaan sakit hati yang dirasakan dirinya sungguh terasa hingga kemari. Aku sama sekali tidak memiliki niatan untuk berbicara serta menenangkannya. Biarkan dia sendirian bersama kesedihannya.

Foley berinisiatif memeriksa keadaan sekitar, mencari sesuatu di antara reruntuhan rumah yang sudah terbakar habis. Mungkin saja ada sesuatu tertinggal dan masih tersisa.

Harry sudah cukup menggali. Pakaiannya kotor, begitu juga dengan wajahnya. Matanya memerah, dia sesegukan ketika berusaha untuk menghentikan tangisan. Aku duduk di antara kedua kakiku yang terlipat, menghadap mayat Linton yang belum sepenuhnya terbungkus kain. Harusnya aku datang lebih awal, begitu pikiranku berseru-seru. Tapi tidak ada yang harus disesalkan. Semua sudah terjadi seperti yang mimpiku telah peringati.

FleeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora