chapter 57

203 40 205
                                    

TW = violence, sexual scene

57:
my precious

Tidak ada yang berani bersuara, kepala mereka terus menunduk dan hanya seorang yang dengan dingin menatap lurus ke pintu di hadapan. Aku tidak peduli, aku senang mereka tetap diam. Seandainya bisa, aku bahkan tidak keberatan untuk membuka paksa pintu dan memergoki Hosteen dengan para wanita pelacur di sisinya. Suara pekikan dan tawa cekikan itu terdengar hingga ke luar, sangat mengganggu serta menjijikkan.

Diam-diam bibirku membentuk cengiran. Ini sudah hari ketiga semenjak Hosteen mengetahui penyakit yang kualami; tidak bisa mengandung. Ketika fantasiku menggambarkan dia yang berubah menjadi monster, atau memukuliku seperti biasanya, kemudian melakukan berbagai cara untuk menyingkirkanku darinya ... yang kudapat hanyalah Hosteen yang sama sekali tidak bersuara. Dia memilih bungkam dan berpura-pura tidak melihat eksistensiku. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, aku tidak tahu apa yang dia rencanakan. Lebih baik aku mempersiapkan diri dan juga berhati-hati karena tidak ada yang mengetahui maksud dari menyingkirkan yang Hosteen katakan.

Bulu kudukku berdiri. Aku berbalik menoleh kepada ketiga dayangku. "Apa kalian bisa menebak ada berapa wanita di dalam?" Pertanyaan itu nyeleneh, tentu tidak ada yang mau menjawab. "Ada tiga. Setidaknya begitu yang kuhitung dari suara tawa mereka," ujarku.

"Empat, m'lady," Edith mengoreksi. Aku mengangkat alis. Di saat yang bersamaan pintu terbuka, para perempuan itu keluar dengan langkah cepat sambil menundukkan kepala dan terkikik. Kuhitung mereka dan benar saja jumlahnya ada empat.

"Sajikan makan siang setengah jam lagi, dan tutup mulut kalian tentang hal ini," perintahku, mereka mengangguk patuh.

Langkahku dengan mantap masuk ke dalam kamar. Hosteen masih di atas ranjang, duduk bersandar dengan selimut putih gading yang menutupi pinggang dan seluruh kakinya. Dia tengah meneguk anggur ketika aku membereskan kekacauan.

"Ini kedua kalinya, my lord," ujarku. Hosteen tidak menjawab, terlihat tidak peduli. "Istana memiliki banyak mata dan kau tahu itu. Jika Lady Hilda mengetahui ini, dia akan marah besar setelah tahu putranya berani membawa pelacur ke dalam istana."

Hosteen menenggak anggurnya hingga habis, barulah dia bangkit untuk mengisi gelasnya lagi. "Aku kira kau sedang makan siang dengan saudariku," katanya tiba-tiba.

"Dan aku kira kau sedang makan siang dengan para lord."

Sebenarnya, bertemu dengan Hosteen di saat siang hari seperti ini adalah sebuah kelangkaan. Dia sangat sibuk. Kadang di waktu-waktu seperti ini dia akan berjumpa dengan bangsawan entah siapa atau utusan dari tempat ini dan tempat itu, kemudian mereka akan makan bersama dengan sang raja di aula kecil. Sementara itu, di waktu yang sama, aku menghabiskan sepanjang hari bersama Lydia. Sehingga biasanya aku dan Hosteen hanya akan berjumpa saat malam, seperti kemarin ketika aku memergoki dirinya membawa pelacur berambut pirang bergaun dada rendah ke dalam kamar. Sebuah kejutan yang membuatku menyeringai.

"Aku tidak sudi satu meja bersama Lior Morgenstern," dia mencemooh, "membuatku kehilangan nafsu makan dan ingin menonjok wajahnya."

Alisku terangkat, memilih untuk tidak membalas. Aku paham benar bahwa dia menganggap Lior sebagai pria yang patut disalahkan karena mengira aku memiliki hubungan romantis dengannya—yang mana salah besar.

"My lord," panggilku pelan, "aku minta dengan kerendahan hati untuk tidak membawa pelacur-pelacur itu lagi kemari. Lady Hilda akan menampar dan menyalahkanku untuk ke sekian kali."

Kalimat yang keluar dari mulutku bukanlah sebuah kepedulian terhadap hubungan pernikahanku dan Hosteen, tentu saja aku hanya peduli pada diri sendiri. Aku menebak dengan pasti bahwa Hosteen sama sekali tidak mengabari ibunya mengenai kemandulanku, wanita iblis itu malah mengetahuinya dari kabar yang menyebar cepat. Pelaku utama yang menyebarkan adalah Hilda dan Ingaret, itu sudah pasti mereka, dan aku lagi-lagi tidak peduli. Hanya saja masalahnya, Lady Hilda tidak dapat menahan kekecewaan dan mencaciku bagaikan sampah. Anehnya, aku sangat senang dianggap sampah dan siap untuk dibuang.

FleeМесто, где живут истории. Откройте их для себя