chapter 62

181 36 186
                                    

62:
free

Kedua kelopak mataku terbuka dan reflek aku terduduk dengan dada naik turun. Aku baru tersadar berada di tempat asing, terbaring di sebuah ranjang besar yang empuk di ruangan yang besar dan remang-remang. Beberapa lilin dinyalakan, tirai mewah yang terjuntai hingga menyentuh lantai telah menutupi jendela mengatakan bahwa hari di luar telah gelap.

Pertanyaan yang kini melintasi kepala adalah... aku di mana? Seingatku tadi sore berada di taman bersama Raja Elios, dia masuk ke dalam memoriku setelah kuberikan izin padanya. Kemudian aku teringat bahwa aku menjadi tidak sadarkan diri, dan berakhir terbangun di tempat ini.

Apa raja telah melakukan sesuatu kepadaku? Apa aku dalam pengaruh manipulasi miliknya? Astaga. Baru lah sekarang aku menjadi takut setelah merasa percaya diri jika ia bisa melakukan apa saja kepadaku, termasuk memanipulasi.

Suara keritan engsel pintu terdengar, aku terkesiap. "Siapa?" Aku bertanya, suara yang keluar sangat kecil dan parau. Ada sebuah tirai yang menghalangi penglihatan menuju pintu, dan lilin tidak dinyalakan di sana. "Siapa?" seruku sekali lagi, lebih keras dan menjadi lebih was-was.

Lantas aku menuruni ranjang dan mengambil lilin di atas nakas, instingku begitu kuat mengatakan untuk memeriksa. Begitu melihat sesosok yang juga berjalan mengarah padaku dengan lilin di tangan membuatku nyaris merosot.

"Harry," lirihku tidak percaya. Pria itu tersenyum, menatap dengan tatapan penuh rindu. Aku menghampiri dirinya, memeluk erat tubuhnya yang tinggi dan kokoh. Batinku mendesah, pelukan ini baru lah terasa benar, terasa hangat, seperti rumah.

"Hati-hati, Eva, kau bisa menjatuhkan lilinnya," tegur Harry.

Aku mendongak dari pelukan, sedikit menganga tidak percaya. "Aku tidak mengharapkan kalimat seperti itu."

Dia terkekeh, kedua lubang pada pipinya terbentuk. Manis sekali. "Tapi aku serius, jika lilinnya terjatuh dan membakar karpet-karpet maka akan terjadi kebakaran. Itu berbahaya," katanya seraya mengambil lilin dari tanganku dan meletakkannya bersamaan dengan miliknya pada meja terdekat. Begitu berbalik, ia langsung saja menyambar pinggangku, menarikku ke dalam pelukannya dan menenggelamkan wajah pada leherku yang dingin. Dia menghirup dalam-dalam aroma tubuhku layaknya ramuan candu. "Aku merindukanmu, Eva," gumamnya berkali-kali.

Rasanya aku akan menangis, menangis karena bahagia. Penantian lama akhirnya terbayar, dan dengan begitu saja, air mata itu mengalir tanpa dipinta. Harry menyadari itu. Ia melepaskan diri, menangkup wajahku dengan kedua telapak tangannya yang besar dan mengusap air mata pada ujung mataku menggunakan ibu jari.

"Aku tidak ingin melihat air mata," katanya.

"Aku menangis karena bahagia," ujarku lantas terkekeh tanpa alasan. "Aku merindukanmu, Harry."

Harry ikut terkekeh, menyadari bahwa tidak ada salahnya untuk menangis. Kini matanya yang berkaca-kaca, seakan sedari tadi dia lah yang menahan diri untuk tidak menangis.

"Tidak pernah aku mengira kita akan dipertemukan seperti ini, di tempat ini, dengan kondisi seperti ini." Harry menahan isak tangisnya. "Aku mencarimu ke Utara, Eva."

Oh, mendengar suaranya membuat hatiku terluka. Kubelai wajahnya dan mengangguk. "Aku mengharapkan kau pergi ke Negeri Merdeka dan akan kususul dirimu ke sana."

"Seharusnya kita tidak berpisah," sesalnya. "Akan tetapi, ketika berada di Isyithas dan kau menjadi kesakitan pada perutmu, Alissa melihat berbagai masa depan yang akan terjadi kepada kandunganmu, anak kita. Aku dapat membaca pikiran Alissa pada saat itu. Salah satu terburuknya terjadi jika kau tetap bersamaku, aku melihatmu sekarat, Eva, aku melihatmu mati di dekapanku."

FleeOnde histórias criam vida. Descubra agora