Eps.4 - Who Is Him?

Start from the beginning
                                    

"Nggak ada anak baru di sekolahan ini selain Bryan," kata Decha menegaskan.

Erin mengangguk. "Atau jangan-jangan, cowok yang lo temui kemaren adalah jelmaan malaikat pencabut nyawa yang sedang mengintai lo, Ay." Erin berkata demikian dengan gurat wajah serius.

"Kok lo jahat Rin?" Aku memberengut. "Maksud lo hidup gue nggak bakal lama lagi gitu?" Vinny dan Decha terkikik geli melihatku yang memasang muka masam dengan bibir manyun.

Lantas aku segera menguatkan hati. "No no no .... Gue yakin dia pasti anak baru yang datang kemarin dan kalian belum pada tahu. Atau mungkin ... gue emang halu sih," ujarku lirih di akhir kalimat.

"Udahlah ngga usah dipikirin, Ay." Decha menyentuh bahuku. Aku mendesah panjang. Merasa frustrasi. Tidak perlu dipikirkan adalah hal terakhir yang akan aku lakukan. Cowok itu sudah benar-benar membiusku, meskipun kecil kemungkinan dia juga menyukai cewek sepertiku yang punya wajah penuh jerawat ini. Ah entahlah, mungkin memang cowok tampan kemarin hanya imajinasiku belaka.

Tak lama kemudian bel tanda masuk berbunyi, menghentikan percakapan kami.

***

Salah satu pelajaran yang membuatku ingin cepat-cepat lulus dari sekolah adalah penjaskes atau olahraga. Mata pelajaran tersebut benar-benar membuatku dan beberapa teman cewek lain kelimpungan ketika praktik di lapangan. Alhasil nilai kami di mapel tersebut pas-pasan garis miring hanya sesuai KKM.

Dan jam pertama di kelasku pagi ini adalah olahraga. Semua anak cewek bergegas keluar kelas menuju toilet untuk mengganti seragam.

Selang beberapa saat, kami kembali ke kelas guna menaruh seragam kami di tas masing-masing. Para anak-anak cowok sudah bersiap namun masih santai-santai di dalam kelas sambil mengobrol dan tertawa-tawa tidak jelas. Untuk yang terakhir itu kalian bisa menebak kelompoknya siapa? Ya, benar mereka adalah geng Arraja Cs.

Aku sedang memasukkan tas ke dalam laci ketika ponselku di atas meja bergetar tanda ada pesan masuk di WhatsApp. Sebuah nomor tanpa foto profil mengirimiku pesan.

+62************ : Ke depan kelas sekarang juga. Ada sesuatu menanti lo!

Aku mengernyitkan dahi heran. Seketika perasaanku menjadi was-was. Menatap ke sekeliling kelas, aku tak menemukan sosok raja jail titisan neraka itu di antara para temannya dalam kurung budak-budaknya. Ini sudah pasti ulah cowok itu untuk kembali mengerjaiku. Namun tak pelak, karena rasa kepoku lebih dominan ketimbang rasa was-wasku, aku tetap saja mengikuti perintah sesuai pesan tersebut. Siapa tahu saja ada sesuatu yang membuatku senang setelah apa yang terjadi beberapa saat lalu, bukan? Semacam pangeran berkuda putih tiba-tiba sedang di depan kelas untuk menanti kehadiranku.

Tak mengindahkan ketiga temanku yang sedang berbincang, aku segera melesat diam-diam ke depan kelas. Baru saja langkahku menginjak depan pintu, rambut kucir satuku ditarik dari arah belakang. Aku nyaris menjerit jika tak berhasil menguasai diri. Namun detik selanjutnya tangan itu melepas rambutku. Berbalik badan, aku mendapati seringai nakal dari Arraja yang sedang bersandar di dinding samping pintu kelas.

"Ternyata dugaan gue benar kalau pelakunya pasti elo," kataku tajam. Sebal melihat Arraja dengan gaya sengaknya itu. "Mau lo apa sih?"

"Dengerin ya! Gara-gara perbuatan lo kemaren, celana gue jadi robek di bagian belakang," sahut Arraja, menatapku dengan tatapan menusuk.

Mendengar hal itu lantas ingatanku melayang pada kejadian kemarin saat aku mengoleskan super glue di bangkunya. Segera mataku menatap celana abu-abu Arraja yang saat ini ternyata sedang memakai celana entah milik siapa. Tawaku hampir saja menyembur demi melihat celana Arraja yang kebesaran itu.

"Ya udahlah ya, yang penting kan lo masih punya serepnya meski rada kedodoran." Aku membekap mulut menahan tawa. Puas melihat Arraja depresi hanya disebabkan oleh masalah celana.

Arraja memalingkan wajah. "Gue nggak mau tahu. Nanti sepulang sekolah lo bawa celana gue ini ke tukang jahit."

"Dih buat apaan?"

"Dikecilin sesuai ukuran yang punya gue kemaren." Arraja mengangkat satu kakinya dan disandarkan pada dinding.

Aku pura-pura terbelalak kaget. "Apa? Triple o em ji. Eh Raja ... lo harusnya tahu, kan, di sekolah dilarang pakai celana model pensil yang ketat? Kalau ketahuan Bu Kisty, lo-"

Tak kusangka, jari telunjuk Arraja ditempelkan di mulutku. Membuat suara ini tersangkut di tenggorokan dan tak bisa berkata apa pun lagi. Tiba-tiba jantungku berdegup dua kali lipat tidak seperti seharusnya. Untuk sesaat pandangan kami saling menghujam satu sama lain. Tunggu, kalau dilihat dari jarak dekat, sebenarnya Arraja cowok yang cukup tampan. Kalian jangan bilang-bilang dia jika baru saja aku memujinya, bisa-bisa Arraja menjadi over percaya diri. Astaga, apa aku ini sudah gila?

Aku menepis kasar tangan Arraja. Menghapus paksa segala perasaan jahat di diriku yang mungkin baru saja terbelenggu oleh bisikan-bisikan iblis. "Lo apa-apaan sih?"

"Gue. Nggak. Peduli." Arraja berkata penuh penekanan. "Pokoknya lo harus tanggung jawab."

Aku sengaja tertawa mengejek. "Hellooo? Gue juga nggak peduli, bodo amat. Itu bukan urusan gue."

"Oke fine ... lo bakal nanggung sendiri akibatnya," tukas Arraja dengan intonasi mengancam, lalu segera berbalik masuk ke dalam kelas.

"Dih apaan sih tuh cowok?" gumamku, bergidik ngeri. Bukannya aku takut dengan ancaman Arraja, toh dari dulu dia selalu mem-bully-ku. Hanya saja aku tak habis pikir dengan raja jail itu yang mempermasalahkan perkara celana ke jenjang yang lebih serius, seperti aku akan dilaporkan ke kantor polisi, misalnya?

***

Tak seperti biasanya Bu Dhini, guru olahraga kami, belum terlihat batang tubuhnya yang atletis itu. Padahal bel masuk jam pertama sudah berjalan sekitar 15 menit yang lalu.

Namun meski demikian, kami tetap sudah berbaris di lapangan, siap menjalankan pemanasan tanpa perintah dari Bu Dhini. Para anak cowok terlihat masih duduk-duduk santai di bangku semen pinggir lapangan. Hanya ada Syamsir—si ketua kelas—dan Fernaldi—wakilnya, yang bergabung bersama para anak cewek.

"Ayya ... lo jangan lemes gitu dong. Semangat!" ujar Vinny sambil berlari kecil di tempat.

Aku hanya mencibir lirih, malas mengikuti gerakannya. Memang, selain Vinny, kami masih berdiri di barisan tanpa melakukan gerakan apa pun. Kebanyakan justru malah asyik mengobrol.

Saat aku memalingkan wajah ke ujung arah keluar-masuk lapangan, seketika mataku terbelalak. Aku usap-usap mata untuk memastikan bahwa ini nyata.

"Gengs, gengs ... itu ... cowok kemaren yang gue maksud."

Oke, mungkin detik ini juga wajahku sudah menampilkan ekspresi memalukan. Mulut menganga lebar, mata membelalak menatap dari jauh.

"Hah? Triple o em ji ... jadi dia?" Decha menunjuk ke arah cowok tampan tersebut.

Aku mengangguk tanpa sadar. Tatapanku masih mengarah ke pangeran berkuda putih tersebut.

"Maksud lo Pak Arnold?" timpal Erin, menatapku tak percaya.

Bumi seolah berhenti berotasi. Tubuhku terpaku demi mendengar kalimat Erin. Mengapa cowok kece itu dipanggil 'Pak'? Ya Tuhan, siapakah dia yang sesungguhnya? Pangeran dari negeri mana?

"Pak Arnold?" tanyaku dengan suara mencicit, mengeluarkan benak penasaran yang luber di otakku saat ini.

***

Bersambung...
Enjoy Reading & Keep Support.

Terima kasih yang sudah meramaikan votte (★) & comment (💬)

05 April 2020

Be My Miracle Love [End] ✔Where stories live. Discover now