TUJUH

408 110 2
                                    

"Jadi, kemarin tuh elo digotong-gotong Kay dan Seran. Ribet banget nyari EDC buat bikin lo sadar. Pas udah bisa mastiin lo setengah sadar, gue yang lagi kebagian jaga klinik disuruh gantiin baju lo yang basah biar nggak masuk angin. Gila ya, beruntung banget elo! Ditolong cowok-cowok paling ganteng dan populer se-Garuda Bangsa. Bahkan, gue sempet nguping waktu mereka lagi di dalem klinik nungguin elo, Fiksa tuh sampe ngebego-begoin dirinya sendiri karena ngehukum tanpa tau kondisi lo. Advin sama Daffa aja sampe ikut ribet."

Kata-kata anak kelas kelas sebelas itu masih terngiang di pikiran Lita. Kemarin ketika Lita sudah tinggal sendiri di dalam klinik, anak kelas sebelas yang sedang kebagian jaga klinik langsung masuk dan menceritakan semuanya pada Lita tanpa diminta dengan hebohnya. Lita bisa menduga anak kelas sebelas itu salah satu dari ratusan penggila Lima Gunung Es Berjalan, jadi ada kejadian menyangkut mereka berlima pasti heboh bukan main.

"Sayang ya, ganteng-ganteng nggak pernah senyum. Gue udah setaun liat mereka, tapi belum pernah sekalipun liat mereka senyum. Makanya, pas tadi liat mereka panik itu tuh anugrah banget. Biasanya kan mereka cuma datar aja kayak tembok."

Lita jadi penasaran bagaimana wajah mereka berlima yang panik. 

Eh, tapi mereka panik buat apa? Hobinya mereka aja kalau nggak kasih hukuman, ya ngomong nyelekit yang bikin hati kayak kecubit kecil-kecil. Perih.

"Pantesan aja elo sering diomelin mereka tiap ekskul, elo beneran hobi bengong." Suara Lerina menyadarkan Lita yang sudah mengabaikan segelas teh manis di depannya.

"Waktu istirahat tinggal berapa menit lagi?" Lita mengabaikan sindiran Lerina dan menarik tangan Mary untuk melihat jam di tangannya.

"Lima menit. Oke, gue duluan ya!" Lita bergegas keluar dari kafetaria dan masuk ke kelasnya mengambil paper bag yang dibawa dari rumah, lalu keluar lagi dari kelas dan mulai mencari-cari sesuatu.

Lita mendatangi tempat ekskulnya satu-satu, tapi yang dicari tidak terlihat satu pun. Baru ketika mengintip ke lapangan futsal indoor ia melihat seseorang yang dikenalnya.

"Ada apa, Lit?" tanya Toni yang langsung menghampiri Lita begitu melihatnya.

"Itu, Kak, Lima Gunung Es, eh maksudnya kayak Kak Daffa dan gerombolannya biasanya kalo istirahat pada di mana?"

"Maksud lo, Daffa, Kay, Seran, Fiksa sama Advin?" Toni menyebutkan nama Lima Gunung Es itu satu persatu, Lita mengangguk.

"Gue nggak tau, Lit. Mereka suka tiba-tiba ngilang aja kalo istirahat."

"Yah, gitu ya, Kak? Yaudah deh, makasih, Kak."

"Bentar, Lit." Lita menghentikan langkahnya. "Tadi sih sebelum kesini, gue sempet liat mereka jalan ke ruang musik."

"Oke, makasih banyak, Kak!" Lita berlari menuju ruang musik.

Sesampainya di ruang musik, jantung Lita langsung berdegup lebih kencang, bukan karena habis berlari, tapi dari depan pintu terdengar alunan suara piano yang bisa diyakini berasal dari Advin. Bisa dipastikan juga kalau yang lain ada di dalamnya. Lita melirik kedalam paper bag-nya, lagi-lagi modal nekat dengan tekad dan resiko siap kecewa dan sakit hati lagi.

Bruk...

Tiba-tiba kotak putih dengan pita emas yang sudah terbuka dan kosong melayang dari dalam ruang musik. Pintunya hanya terbuka sedikit membuat Lita tidak tahu siapa yang melemparnya keluar.

"Jangan buang disitu! Nanti ada yang..." Daffa yang baru keluar dari dalam ruang musik kaget dan diam melihat Lita ada di hadapannya .

"Kak Daffa..." Lita bingung dan matanya bergantian melihat kotak putih familiar di bawah kakinya.

Almost Paradise [COMPLETED]Where stories live. Discover now