DUA PULUH TIGA

354 70 13
                                    

"Kak Farla, aku boleh masuk?"

Tidak ada jawaban. Lita pun memilih masuk membuka pintu kamar kakaknya perlahan. Kepala Lita mengintip lebih dulu, sebelum akhirnya melangkahkan kakinya masuk ke kamar Farla. Lita terdiam sejenak di dekat pintu. Kakaknya tengah memandang kosong ke arah dinding. Memeluk kedua lututnya yang dilapisi selimut tipis. Sudah lebih dari seminggu saat Papa hampir mengobrak-abrik ruangan kepala sekolah dan Farla menangis histeris di sana.

"Lita?" Suara lemah Farla menyentak Lita.

"Tadi aku ketok-ketok nggak ada yang jawab. Jadi aku masuk deh." Lita menghampiri kakaknya yang tersenyum.

"Ada apa?"

Lita menggeleng. "Mau ngobrol aja. Kak, aku beli DVD drama Korea baru loh. Cowoknya ganteng-ganteng deh."

Farla membelai kepala Lita. "Nanti kita nonton bareng ya, Kak? Sama Erin juga."

Tanpa menjawab permintaan Lita, Farla menatap adiknya, lalu memeluknya erat.

"Kakak pasti kangen banget sama kamu dan Erin."

Perkataan Farla membuat Lita bingung. "Kangen? Emang kakak mau kemana?"

Farla tidak menjawab, ia makin mengeratkan pelukannya pada adiknya itu. Dalam kebingungan Lita membiarkan Farla terus memeluknya. Dan di tengah kebingungan akan sikap kakaknya, Lita melihat ada beberapa botol obat berisi tablet di atas meja lampu samping tempat tidur Farla. Lita tidak ingat kalau kakaknya punya obat sebanyak itu.

"Arcalita, kita mau ke rumah sakit. Liona tiba-tiba histeris. Mau ikut ke sana? Kita jemput kalo mau."

"Yakin kamu nggak mau dianter Lerina? Kan bisa lebih cepet."

"Gue benci banget sama elo, Lit."

"Kalo cewek gila itu cuma ngerasain 'hampir' diperkosa, gue rasa elo perlu ngerasain bukan cuma sekedar 'hampir'. Iya, nggak?"

Suara Daffa, Mary, Marsha dan Tania silih berganti di pikiran gelap Lita. Sebenarnya bukan pikirannya yang gelap, melainkan pandangannya yang sangat gelap. Sekuat tenaga Lita mencoba membuka kedua matanya, tapi sangat sulit. Kedua matanya tidak mau terbuka, yang ada malah suara-suara Gina terngiang di pikirannya. Berkali-kali. Membuat kepalanya sangat sakit.

Terasa guncangan menghentak badan Lita membuat matanya terbuka seketika. Yang pertama dilihat adalah atap berwarna abu-abu. Lita mulai sadar ia berada di dalam mobil yang tengah berjalan. Lita langsung bangun dan ada seorang perempuan di balik kemudi tampak serius memerhatikan jalan.

Lita melihat ke sekeliling, ia berada di mobil sedan. Bukan mobil besar seperti Alphard. Saat Lita ingin menghembuskan napas lega, karena menyangka semua hanya mimpi buruk dan sekarang ia berada di mobil Lerina, ia pun harus menahan napas saat melihat pantulan dirinya di kaca mobil. Tiga kancing baju teratasnya terbuka, rambutnya benar-benar berantakan, badannya sakit begitu pun kepalanya. Lalu, gelang pemberian Daffa hilang dari tangan kirinya.

"Udah sadar?" Suara datar itu melirik dari spion depan.

"Marsha?"

Marsha tidak memedulikan Lita, pandangannya kembali pada jalan di depannya dan beberapa meter kemudian ia menepikan mobilnya.

"Turun," ujar Marsha tanpa menoleh ke belakang.

"Sha, gue kenapa?" Lita berusaha menahan airmatanya.

"Emang elo nggak inget kejadian di mobil Kak Tania?" tanya Marsha masih dengan suara datar dan tanpa menoleh.

Lita mencoba mengingat, tapi ia tidak berhasil mengingat selain rentetan kalimat Gina dan Tania, Helga yang merampas gelang pemberian Daffa dan laki-laki yang...

Almost Paradise [COMPLETED]Where stories live. Discover now