SEPULUH

422 107 5
                                    

"Makan yang banyak. Abisin." Kay menoleh sekilas, lalu kembali sibuk dengan ponselnya.

Lita memandangi punggung Kay yang berada di depannya. Di area kolam renang tadi jawaban 'saya laper' berujung ia ditarik paksa Kay ke kafetaria buat makan, beberapa siswa yang masih ada di sekolah melirik mereka sambil berbisik-bisik.

Lita baru mau menyuapkan sendok berisi nasi dan potongan ayam goreng ke mulutnya, Daffa datang menginterupsi. 

"Makannya dilanjutin di ruang musik. Ada yang harus diomongin." Daffa berisyarat mata dengan Kay dan mereka berjalan beriringan, diikuti Lita dibelakang membawa piring berisi makan siangnya hasil paksaan Kay.

Begitu masuk ke ruang musik yang sudah disulap seperti ruang rapat, ada meja persegi panjang di tengah kursi-kursi yang mengelilinginya. Kursi-kursi itu sudah diduduki Advin, Seran dan Fiksa. Mereka semua diam, hanya Fiksa yang tersenyum melihat Lita kikuk membawa makanannya dan duduk diantara Daffa dan Kay.

"Arcalita, makan siang, eh sorenya, bisa dilanjut disini."

Diperintah Daffa, Lita malah celingak-celinguk. Masa iya harus makan disini? Disamping Kay yang duduk tenang melipat kedua tangan di dadanya, di depannya ada Seran yang sedang menatapnya tajam, Fiksa yang duduk santai di sebelah Seran dan Advin sibuk dengan buku bacaan, entah apa itu.

"Kita mau bahas masalah Lita." Daffa to the point yang membuat Lita langsung keselek makanannya. Seran mendorong botol minum ke arah Lita dan langsung dihabiskan setengahnya.

"Saya nggak punya masalah, Kak," ucap Lita setelah melegakan tenggorokannya yang tadi kesumbat makanan.

"Oke, masalah kita." Daffa mengoreksi, tapi malah membuat Lita makin bingung.

"Maksudnya?" tanya Lita sambil mendorong piringnya yang masih terisi penuh makanan.

"Masalah beberapa hari lalu. Masalah Liona," ujar Fiksa.

"Ohh itu, saya minta maaf sama kakak semua. Saya berani sumpah nggak bermaksud ganggu Liona, saya cuma mau jenguk walaupun nggak kenal sama dia. Saya juga nggak bermaksud narik perhatian kakak semua dengan datengin Liona. Saya..."

"Bisa lupain kata-kata gue yang itu?" Kay bersuara dari sebelah Lita, matanya memancarkan rasa bersalah.

Lita mengarahkan matanya ke arah lain selain mata Kay yang membuatnya jadi salah tingkah, kemudian melanjutkan kata-katanya.

"Mungkin saya emang kampungan dan norak dengan sok baik mau ngasih kakak semua kue waktu itu. Mungkin saya emang kampungan dengan ngikutin semua ekskul yang kakak pimpin. Niat awal saya cuma mau lebih kenal kakak semua aja. Dan, saya juga rela dibilang kampungan dengan diem-diem ngikutin kalian dan saya tiba-tiba aja terdorong buat ketemu Liona, setelah dikasih tau penyebab dia dirawat disana sama suster. Saya emang kampungan..."

"Elo masih marah ya? Sampe elo ingetin terus kata-kata gue kemarin?" Kay mengubah posisi duduknya jadi menyamping agar bisa melihat Lita dengan jelas.

"Dan saya nggak pernah ada niat buat jadi pacar salah satu diantara kalian." Lita menatap Seran sekilas yang masih duduk di depannya.

Lita bangun dari duduknya dan melangkah cepat ke sudut ruangan, disana ia menarik napas panjang dan menghelanya perlahan. Airmatanya jangan sampai keluar di depan mereka berlima lagi. Ia harus ingat akan janjinya pada Farla untuk menjadi perempuan yang kuat dan selalu tersenyum, memaafkan apapun kesalahan orang lain dan tidak cengeng.

"Maafin aku, Kak Farla..." bisik Lita pelan saat airmatanya tumpah mengingat segala kenangan akan Farla.

"Sejak kapan jadi cengeng? Seinget gue walaupun elo sering banget gue hukum ke luar ruangan, karena sering buat harmonisasi nada jadi berantakan, elo nggak pernah nangis. Malah maksa buat ikut nyanyi lagi." Advin meletakan saputangan di genggaman Lita.

Almost Paradise [COMPLETED]Where stories live. Discover now