Lana meringis merasa bersalah karena tidak lebih dulu izin ke saudara satu-satunya tersebut. Sedangkan Aska menggaruk tengkuknya, salah tingkah. “Ini bukan berantem kok, Mas. Hanya ada masalah kecil tadi,” jawabnya mengelak.

Mas Axel memelotot tajam. Hei! Mereka pikir bisa membohonginya yang jelas-jelas lebih dulu merasakan asinnya garam! “Masalah kecil tapi bikin kamu babak belur gitu?!”

Lana mendekat, ia mengelus lengan Mas Axel agar kakaknya bisa tenang. “Mas, masih ingat kan kalau kita belum nemuin siapa pelaku yang nyulik Lana saat itu? Jadi kami tadi dari ke tempat yang bisa mecahin semua teka-teki ini. Lana gak bisa terus-terusan hidup dengan perasaan was-was.” Sepertinya jawaban Lana cukup memuaskan keingintahuan Mas Axel, terlihat jelas dari ekspresi pria itu yang melunak.

“Jadi siapa pelakunya?” tanya Mas Axel to the point.

“Itu—” Aska lebih dulu menoleh ke arah Lana, memastikan gadis itu tetap tenang. “Ayah Jessi, Mas.”

Aska menemukan keterkejutan adik-kakak di hadapannya. Saat ini mereka masih di depan pintu, dan sama sekali tidak ada yang ingin bergeser agar bisa berbicara lebih nyaman. “Ka, maksudmu apa?!” Lana tidak percaya, ia yakin ini semua hanya kamuflase yang dibuat oleh pelaku sebenarnya.

“Kita lebih baik duduk dulu,” Mas Axel mempersilahkan mereka duduk di kursi teras. Kemudian ia menunggu Aska menjawab pertanyaan Lana.

“Tadinya aku juga gak percaya, tapi beliau mengaku langsung. Dia minta maaf, karena katanya beliau terpaksa melakukan hal itu.” Tidak ada yang memotong penjelasan Aska, karena Aska pasti tidak akan suka jika ada yang mengajukan pertanyaan sementara ia belum selesai menjelaskan. “Kami berantem karena hal itu,  cuman ada yang aneh.” Alis Aska mengerut membuat bentuk alisnya nyaris menyatu satu sama lain.

Lana menggaruk keningnya. “Aku masih gak ngerti, kalau emang dia pelakunya, gak mungkin kan dia ngaku.” Mas Axel mengangguk setuju, dan Lana kembali menambahkan, “Ini itu bukan masalah kecil, secara gak langsung beliau siap dipenjara saat terpikirkan untuk mengaku. Terus, kamu juga tadi sempat bilang kalau kita dijebak, kan?”

Mas Axel mendengarkan. Ia merasa ini semakin rumit. Aska menghela napas. “Kita memang dijebak, Lan, beliau memang mengaku sendiri kalau dia pelakunya, tapi pas aku minta bukti ada yang menutup mulutku dari belakang, aku gak dengar langkahnya.” Cowok itu meremas rambut tebalnya. Ia berkata, “Aku gak bisa liat mukanya, karena ayah Jessi nonjok muka aku, itu kenapa mukaku hancur gini, terus orang yang nyekap mulut aku pake topeng monyet, dan topi, tangannya ditutupi kaus tangan. Sepertinya mereka udah rencanain semua ini.”

“Kamu gak coba teriak gitu, Ka?” Mas Axel bertanya heran, sebab ini semakin tidak masuk akal.

“Aku teriak, tapi kayaknya ruangan itu kedap suara. Ruangan itu sejenis ruang kerja papa, tapi jelas beda.”

“Terus kamu kok bisa bebas dari tempat itu? Aneh banget kan kalau mereka udah berhasil nangkap kamu, tapi mereka bebasin kamu.” Lana menaikkan alisnya tidak mengerti dengan apa yang mereka hadapi.

Aska mengangguk. “Jessi muncul, dan dia yang bantuin aku bebas ...,”

W-wait? Jessi? Are you kidding me, Ka?!

Aska terkekeh miris. “Andai saja bisa, aku juga akan nganggap ini hanya candaan, tapi itu yang terjadi. Aku menduga kalau mereka udah jauh-jauh hari rencanain ini, dan mereka juga udah rencanain untuk bebasin aku.”

ALASKAWhere stories live. Discover now