31. Mencoba Berdamai

5.6K 268 8
                                    

Tekan ☆ di pojok bawah ya:)
Koreksi juga kalau ada typo.

Happy reading❤

“Ada yang mencoba untuk berdamai dengan keadaan, meskipun ia tahu itu berat, tapi ada pula yang belum ikhlas menerima keadaan walau ia tahu semua tak sama lagi dan tak akan pernah sama.”

(Sivania Alana Raveira)


“Maaf kalau akhir-akhir ini aku menyebalkan.”

“Bagus deh kalau kamu tau.”

Aska tersenyum tipis, memperhatikan cewek di sampingnya. Mereka sedang di  kedai kopi untuk jalan berdua di malam minggu ini.

“Kenapa sih kamu kemarin nyebalin banget? Kalau bisa aku pasti udah tenggelamin kamu di laut selebu!”

Aska terdiam. Ia menarik napas dalam, memang sudah waktunya untuk mereka tidak bersikap kekanakan lagi.

“Dulu, kamu pernah bilang pas aku nanya soal prioritas, kamu bilang supaya adil aku jangan prioritasin keduanya, tapi sekarang pas aku coba hal itu, justru kamu nganggap Viola yang aku prioritasin, padahal aku gak prioritasin siapa-siapa, Lan. Bagi aku, kamu dan Viola itu sama-sama berarti. Aku punya tanggung jawab untuk tetap lindungin Viola, hidupnya gak seberuntung kamu yang punya kakak seperti Mas Axel.”

Aska menoleh menatap Lana yang memasang raut datar. Cowok itu membuang napas, ia mengalihkan pandangannya ke ramainya jalan. “Kamu gak akan bisa tau kacaunya hidup Viola, tapi aku tau kamu akan simpati kalau tau hidup Viola lebih sulit daripada aku, Lan. Ini alasan aku selalu ada buat dia, bukan karena aku prioritasin dia, karena yang sekarang aku prioritasin adalah gimana caranya berdamai dengan masa lalu, terutama Bunda Risky yang udah susah payah nyariin mama aku pendonor mata yang cocok, terus dia juga yang bayar semua biaya operasi mama aku. Terus papa, aku juga harus nyari tau apa penyakit papa, Lan. Aku harap kamu ngerti kenapa akhir-akhir ini aku menjauh, aku gak ingin kamu kasihani aku. Aku gak suka orang liat aku seolah hidup aku udah paling menderita.”

Lana menarik napas dalam. Menyalahkan pikirannya yang sering membuat persepsi-persepsi negatif tentang Aska sebelum mendapatkan penjelasan dari cowok itu.

Ia menunduk dan menautkan jari-jemarinya. “Maaf,” gumamnya pelan.

“Maaf?”

“Ya, karena aku sering berpikir negatif tentang kamu. Sekarang aku ngerti, kamu gak mau cerita ke aku bukan karena kamu gak percaya sama aku, tapi kamu emang butuh waktu.” Cewek itu menoleh pada Aska yang tersenyum tulus padanya. “Maaf, ya.”

“Tunggu, aku mau nanya sesuatu,”

“Apa?”

“Kalau misalkan aku lebih banyak ketemu Viola, apa kamu gak bakal marah?”

Lana menghela napas. Dipandanginya Aska dengan sorot keraguan yang begitu kental. Sulit untuk tidak kesal jika Aska lebih memilih menghabiskan waktunya dengan Viola, namun ia ingin mendengar apa yang terjadi pada Viola hingga Aska merelakan waktunya untuk menemani cewek itu.

“Tergantung penjelasan kamu tentang Viola yang kata kamu kurang beruntung seperti aku.”

Aska tersenyum miris mengingat kehidupan Viola yang menurutnya lebih menderita daripada hidupnya. “Dari kecil dia lahir di keluarga yang gak normal, orang tuanya sibuk, saking sibuknya sampe lupa kalau punya dua anak. Lalu pas Viola umur belasan, ortunya cerai, Viola bilang emang dari dulu ortunya gak pernah akur kalau ketemu di rumah, tapi dia gak pernah mikir kalau pada akhirnya bakalan ngalamin yang namanya broken home,” Aska memberi jeda, dipandanginya Lana yang memasang mode serius mendengarkannya, cowok itu berkata, “yang namanya rencana Tuhan kan gak ada yang tau. Setelah ortunya cerai, semuanya makin berantakkan, Viola mulai bertingkah aneh; drunks, clubbing, dan sejenisnya. Kakaknya juga gitu, bahkan beberapa tahun yang lalu kakaknya ketahuan pemakai, huh, Viola gak punya harapan hidup, dia depresi bahkan pernah overdosis obat penenang. Dia gak punya siapa-siapa lagi, Lan, dan kata psikiaternya dia butuh dukungan dari orang-orang di sekitarnya, salah satunya ... ya aku.” Aska menutup penjelasannya. Cowok itu terlihat menghela napas dalam.

ALASKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang