Fariz yang masih di alam sadarnya mendengar hal itu. Ia berteriak sekuat tenaga. Ia sudah frustasi hanya melihat kegelapan. Ia sangat merindukan suara itu sangat. Fariz merasakan tangannya menghangat dan basah. Apakah Nadia menangis? Nadia tak boleh menangis.

Tiba-tiba saja ada cahaya terang dari sudut ruangan. Terdapat suara Nadia yang terdengar dari sana. Ia pun segera berlari kencang seperti berada di labirin kosong.tak ada apapun hanya cahaya yang terus menerus ia kejar.

"Riz, ayo bangun. Kamu katanya bakal ngucapin kangen sama aku setiap ha-"

Kata-kata Nadia berhenti. Merasakan tangan Fariz bergerak. Ia pun meghapus air matanya lalu bergerak keluar.

"Pak, Fariz udah sadar." Ucap Nadia dengan antusias berkata kepada sang penjaga.

Penjaga itu pun segera memanggil dokter. Nadia pun berbalik menatap Fariz yang sudah membuka matanya.

"Nadia." Lirih Fariz memanggil Nadia yang sudah tak bisa menahan air matanya untuk tak luruh keluar.

Nadia mendekat perlahan membuat senyum Fariz terukir begitu saja. Tangan Fariz terangkat menghapus air mata Nadia.

"Tangisan kamu buat aku bangun, Nadia." Ucap Fariz pelan sembari mengusap rambut Nadia.

"Aku bakalan nangis terus kalo kamu gak bangun bangun. Aku takut-"

Ucapan Nadia terpotong saat dokter baru saja masuk bersama dengan Fikri  yang mengajak Nadia untuk keluar sebentar.

"Bang..." Ucap Nadia memeluk Fikri erat merasa senang.

Fikri pun membalas pelukan sang adik. Keputusannya kala itu benar. Ia sudah melepaskan perasaannya. Lebih baik seperti ini melepaskan adiknya untuk orang lain karena perasaannya memang tak pantas untuk tumbuh lebih jauh lagi. Perasaan itu sudah ia buang jauh-jauh.

"Sekarang jangan nangis lagi. Oke?"

Nadia pun melepaskan pelukannya lalu menghapus air matanya sembari mengangguk mengiyakan.

"Rahardian bakal berurusan sama Abang. Kamu tenang aja. Abang bakal lebih kejam kalau sudah menyangkut kebahagiaan kamu. Abang udah tau semuanya."

"Tapi dia lebih bahaya dari yang abang kira. Aku takut abang kenapa-napa."

Fikri tersenyum. Rupanya Nadia belum tahu bagaimana Fikri selama ini. Ia bisa lebih kejam dari siapapun.

"Kamu cuma perlu percaya sama abang."

Pintu ruangan Fariz pun kembali terbuka menampakkan dokter yang baru saja keluar sembari tersenyum hangat.

"Calon menantunya Pak Arvandi. Udah ditunggu sama calon suaminya tuh."

"Eh." Nadia pun menoleh menatap dokter yang baru saja keluar dari ruangan Fariz dengan menggaruk tengkuknya salah tingkah.

Sebelumnya ia mengira bahwa itu adalah ayah dari Fariz ternayata bukan. Wajahnya sangat mirip.

"Saya Arvando, Omnya Fariz. Kamu harus jaga pola makan Fariz ya, karena tubuhnya masih belum bisa stabil."

"I iya dok." Gugup Nadia.

"Saya abangnya." Ujar Fikri saat merasa Arvando menatapnya intens.

"Oh yaudah saya permisi dulu."

Setelah melihat Arvando pergi. Fikri menahan tangan Nadia yang ingin segera masuk keruangan Fariz.

"Cha, kamu masih lama kan disini?"

"Kenapa emangnya?"

"Abang mau jemput Dira dulu ya."

My BadBoy Only One [slow Update]Where stories live. Discover now