Setengah jam sudah berlalu, namun Michel masih setia memandang jendela yang sudah disapu bersih oleh butiran-butiran bening air hujan. Latte hangat yang dibuat Felic {baca : Felis} sudah mendingin di dalam genggamannya, ia tak mempunyai keinginan untuk meminum latte-minuman favoritnya-itu. Felic hanya tersenyum kecut melihat latte buatannya mendingin tanpa mengubah sikap Michel sedikit pun, hanya ia yang mengetahui keadaan Michel yang sebenarnya. Michel masih shock atas kejadian yang membuat mamanya, orang yang selalu ada untuknya kini sudah tiada.

"Chel, lo nggak apa-apa?" Felic membuyarkan lamunan Michel seraya melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Michel, Michel tak merespon ia hanya sekilas melihat Felic dan kembali berbalik menghadap ke jendela. Felic ingin melihat Michel dalam keadaan seperti ini terus menerus, Felic tau kehilangan seorang mama bukan suatu hal yang mudah.

"Chel, gue tanya lo nggak apa-apa?" Felic mengulang pertanyaan yang ia tanyakan tadi tadi dengan nada yang lebih tinggi, ia memindahkan cangkir yang ada di genggaman Michel, menatap Michel serius.

"I am fine." Jawaban Michel tak membuat Felic puas, Felic menggeleng pelan.

"Lo nggak baik-baik aja, Chel. Lo nggak mau cerita sama gue?" Michelle menggeleng dan beranjak menuju ranjangnya.

"Gue ngantuk Fel, besok aja gue cerita lagi males" jawab Michel perlahan memejamkan matanya yang mengantuk, kemudian terlelap dalam balutan selimut tebalnya.

Pagi menyapa, Michel kembali terbangun dengan mata dan hidung yang memerah, jika ditanya sesering apa ia menangis? Mungkin jawabannya adalah setiap hari, lebih tepatnya setiap hari setelah ia kehilangan mamanya.Hari ini Michel terlalu mengantuk untuk pergi ke sekolah, kakinya yang lemas harus sanggup untuk berjalan karena hari ini adalah hari kedua MOS Michel mengikat rambutnya yang terurai menjadi satu.

"Ok, coba buat barisan yang rapi," seorang anggota OSIS mengarahkan mereka untuk berbaris. Bisa berjalan pelan masuk kedalam parisan dan memutar bola matanya, menandakan dirinya malas melakukannya.

"Sekarang Kalian cari tanda tangan anggota-anggota OSIS minimalnya dua puluh tanda tangan kalian dibagi satu kelompok tiga orang." jelas anggota anggota OSIS tadi mengarahkan. Michelle lumayan penasaran dengan namanya, lain kali ia akan pasti akan mengetahuinya harus ditanya.

Michel kembali dipersatukan dengan Felic tapi tidak dengan Aster dan satu anggota lainnya bernama bernama Vey Ia anak blasteran Indo-Filipina. Dalam waktu sepuluh menit mereka sudah mendapatkan tujuh belas tanda tangan, hanya tertinggal tiga tanda tangan lagi.

"Kak, minta tanda tangan dong." Vei meminta tanda tangan kakak OSIS yang mengarahkan kami saat di lapangan tadi.

"Boleh," kakak OSIS itu tersenyum entah senyum licik atau tulus Michel ragu untuk mengartikannya.

"Tapi gue pengen salah satu dari Kalian bertiga harus beliin minum buat gue" lanjut kakak OSIS itu.

"Oke, biar gue aja" Michelle mengiyakan permintaan sang kakak OSIS.

"Pake uang lo, deal!" kakak OSIS itu mengangkat sebelah alisnya. Michel jijik dengan kelakuannya.

"Deal!" Michel mengangguk.

"Nama gue Devan, ketua OSIS sekolah ini." jelas Devan memperkenalkan diri tanpa disuruh. Michel kembali mengangguk, ia akui Devan cukup tampan. Tapi Michel tidak tertarik pada ketua OSIS itu.

Michel berjalan menuju kantin sekolah, membeli minuman dan kembali, ia sibuk melempar-lemparkan minuman kaleng itu ke udara tanpa memperhatikan jalan. Ia terlalu sibuk dan tak sengaja menabrak bahu seseorang.
'Itu bahu apa tembok sih?keras amat sampe gue pusing gini' Michel bergumam.

"Aduh." Michel mengaduh sembari mengusap-ngusap kepalanya yang pusing, ia tak peduli minuman kaleng--yang ia lempar- lemparkan tadi--itu, terjatuh dan rusak.

"Makanya kalo jalan tuh liat-liat jangan mainin minuman kaleng," lelaki itu mengejek Michel.

"Sini, biar gue bantuin," laki- laki itu mengulurkan tangannya pada Michel.

'Ni cowo apa-apaan sih, tadi ngejek terus mau ngebantuin. Bodo amat ah, mending gue terima aja'

Michel menerima uluran tangan itu, lalu mengambil minuman kaleng yang untungnya belum rusak.

"Gue, Raka." laki-laki itu memperkenalkan diri, Michel tak peduli akan nama laki-laki itu siapa.

"Lo? nama lu siapa?" tanya laki-laki bernama Raka itu.

"Sorry, gue ada urusan. Gue pergi dulu" Michel tak menjawab pertanyaannya dan pergi meninggalkan Raka menuju tempat dimana kelompoknya berada. Michel kembali dan langsung mendapat tangan tangan selanjutnya, hingga dua puluh satu tanda tangan terkumpul, ia merasa beruntung tak mendapat sanksi dan berurusan lebih lama lagi dengan para anggota OSIS karena tak dapat mengumpulkan dua puluh tanda tangan. Dan mereka yang berhasil mengumpulkan dua puluh tanda tangan diperbolehkan masuk kelas, Michel memasuki kelas X-3 IPA yang sudah dipenuhi para siswa baru. Keributan di kelas barunya membuat Michel terganggu, ia memilih duduk di kursi dekat jendela deretan ketiga dari depan papan tulis, walaupun ia sudah terbiasa dengan keadaan seperti saat ia duduk di bangku SMP dengan keributan teman sekelasnya. Namun, keributan ini berbeda, keributan ini terlalu menusuk telinga. Sehingga mengharuskan Michel menyumbat telinganya dengan earphone, sebuah lagu dari band legendaris Linkin Park mengalun pada earphone hitamnya sedikit mengurangi keributan yang menganggunya sedari ia masuk kelas.

Jangan lupa vote dan komen. Karena itu berarti banget buat author.
Thanks for all readers❤

Michella [END] Where stories live. Discover now